Selasa, 19 Juni 2012

Pengajaran Bahasa Kedua


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmatnya, inayah, dan hidayah-Nyapenulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Selanjutnya shalawat dan salam tiada henti selalu tercurah kepada junjungan nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat dan pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Kami sebagai penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian pembuatan makalah tidak terlepas dari kesalahan. Oleh karna itu, penulis mengharapkan kepada pembaca untuk dapat menyumbangkan kritik dan sarannya  demi kesempurnaan makalah ini.
Mudah-mudahan dengan makalah ini dapat membantu kita sebagai mahasiswa khususnya Program Studi bahasa dan sastra indonesia (kelas VI D) agar lebih memahami kajian bahasa di dalam  Sosiolinguistik.



Palembang,   Mei 2012


Penulis


DAFTAR ISI
Kata pengantar           …………………………………………i                      
Daftar isi                     ……………………………………..     ii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………..     1
1.1              latar belakang …..........................................     1
1.2              Masalah………………………………………     1
1.3              Tujuan…………………………………………     1
BAB II PEMBAHASAN ……………………………………..      2         
            2.1       Pengajaran bahasa ke dua……………………….. 2
            2.2       Pragmatik dan pengajaran bahasa ……………….   6
BAB III PENUTUP ……………………………………………
            3.1       Kesimpulan………………………………………   7
DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN
1.1.            Latar Belakang
Sebagai alat komunikasi dan alat interaksi yang hanya dimiliki manusia, bahasa dapat dikaji secara internal maupun secara eksternal. Sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistic yang bersifat interdispliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dan faktor-faktor social didalam  satu masyrakat tutur. Didalam bahasa kedua. Pengajaran bahasa kedua secara formal dimulai ketika anak memasuki pendidikan dasar (kira-kira usia 6 tahun) untuk bahasa nasional, dan ketika anak memasuki pendidikan menengah (kira-kira berusian 13 tahun) untuk bahasa asing (dalam hal ini bahasa inggris). Menurut Pei (1971) anak-anak pada usia 5 tahun telah dapat menguasai pola bahasa pertamanya, dengan demikian ketika anak Indonesia (yang bahasa pertamanya bahasa daerah) mulai mempelajari bahasa Indonesia. Secara sosiolinguistik ‘’materi’’ yang ada didalam konsep pragmatic memang sudah seharusnya diajarkan kepada murid-murid agar mereka dapat menggunakn bahasa sesuai dengan yang menjadi interlekutornya (lawan bicara), topic pembicaraan, situasi, dan tempat pembicaraan, tujuan pembicaraan dan sarana yang digunakan. Pembedaan ragam baku dan nonbaku adalah berdasarkan penggunaannya.
1.2       Masalah
            1. Bagaimana pengajaran bahasa kedua?
2. Bagaimana hubungan pragmatik dengan pengajaran bahasa?

1.3          Tujuan
Agar Mahasiswa dapat memahami tentang keterampilan berbahasa khususnya tentang bahasa kedua bagi anak-anak, bagaimana berbicara yang baik, dan sopan untuk menunjang komunikasi dalam setiap berbicara.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Pengajaran  Bahasa Kedua
            Dalam masyarakat multilingual tentu akan ada pengajaran bahasa kedua (dan mungkin juga ketiga).  Bahkan kedau ini bisa bahasa nasional, bahasa resmi kenegaraan, bahasa resmi kedaerahan, atau juga bahasa asing (bukan bahasa asli penduduk pribumi). Pengajaran bahasa kedua tentu akan menimbulkan masalah-masalah sosiolinguistik.
Pengajaran bahasa kedua secara formal dimulai ketika anak memasuki pendidikan dasar (kira-kira usia 6 tahun) untuk bahasa nasional, dan ketika anak memasuki pendidikan menengah (kira-kira berusian 13 tahun) untuk bahasa asing (dalam hal ini bahasa inggris). Menurut Pei (1971) anak-anak pada usia 5 tahun telah dapat menguasai pola bahasa pertamanya, dengan demikian ketika anak Indonesia (yang bahasa pertamanya bahasa daerah) mulai mempelajari bahasa Indonesia. Pola-pola dan unsur bahasa pertamanya, yang selama ini yang selalu digunakan diluar rumah, akan terbawa masuk ketika mereka berbahasa Indonesia, sebagai sosioliuistik yang disebut interferensi.
Para penganjur pendekatan linguistic kontrastif berpendirian bahwa penguasaan suatu bahasa tidak lain dari pembentukan kebiasaan-kebiasaan (Darjowidjojo 1974, 1978). Oleh karna itu, untuk dapat menguasai bahasa kedua jalan yang paling tepat adalah latihan terus-menerus, tanpa henti, sehingga pada suatu saat akan membentuk kebiasaan-kebiasaan seperti yang telah terjadiketika mempelajari bahasa pertama. Memang jarang ada orang dapat menguasai bahasa kedua sama persis dengan persoalan penguasaan terhadap bahasa pertama. Namun, karena  bahasa Indonesiaadalah bahasa nasional dan bahasa resmi Negara, maka penguasaan  yang optimal perlu diusahakan.                 


A.     Starategi Belajar Bahasa Kedua
Dalam kaitanya dengan proses belajar bahasa kedua perlu diperhatikan beberapa strategi yang dapat diterapkan, ada sepuluh strategi dalam proses belajar bahasa yaitu:
1.      Strategi perencanaan dan belajar positif
2.      Strategi aktif
3.      Strategi empatik
4.      Strategi formal
5.      Strategi eksperimental
6.      Strategi semantic
7.      Strategi praktis
8.      Strategi komunikasi
9.      Strategi monitor
10.  Strategi internalisasi

B.      Prinsip dan Metode Pengajar Bahasa Kedua

1.      Belajar bahasa kedua (B2)adalah belajar dalam konteks pemakaian bahasa yang sebenarnya
2.      Belajar bahasa kedua (B2) adalah belajar menggunakan Bahasa kedua (B2) tersebut dalam berbagai fungsinya
3.      Siswa harus dilatih menggunkan bahasa secara tepat
4.      Pengajaran bahasa perlu memperhatikan kebutuhan efektif dan konektif pelajaran
5.      Pemahaman budaya bahasa kedua perluh ditumbuhkan dalam pengajaran bahasa ke dua
6.      Metode tata bahasa terjemahan tidak membuat siswa terampil menggunakan bahasa, tetapi tahu tentang bahasa
7.      Metode langsung diterapkan melalui kegiatan dialog, tubian pola, dan penerapan
8.      Tujuan pengajaran bahasa komunikatif adalah, agar siswa dapat berkomunikasi dalam permainan bahasa yang sebenarnya dalam bentuk bahasa yang diterima.
9.      Pengajaran dengan respons fisik totalmenekankan penguasaankemampuan menyimak pada awal pelajaran.
2.2       Pragmatik dan Pengajaran Bahasa  
            Kurikulum 1984 memasukan pragmatiksebagai salah satu pokok bahasan ( yang lain : membaca, struktur, menulis, dan apresiasi bahasa dan sastra) yang harus diberikan dalam pengajaran bahasa. Konsep umum yang bisa ditangkap dari sekian banyak pertemuan bahwa pragmatic adalah keterampilan menggunakan bahasa menurut partisipan, topic pembicaraan, tujuan pembicaraan stuasi dan tempat berlangsungnya pembicaraan itu. Kalau pengertian itu ditangkap maka pragmatic itu bisa dikatakan identik dengan masalah pokok dalam sosiolinguistik, yaitu ‘’siapa berbicara, dengan bahasa apa, dengan siapa, kapan, dan tujuan apa’’
            Secara sosiolinguistik ‘’materi’’ yang ada didalam konsep pragmatic memang sudah seharusnya diajarkan kepada murid-murid agar mereka dapat menggunakn bahasa sesuai dengan yang menjadi interlekutornya (lawan bicara), topic pembicaraan, situasi, dan tempat pembicaraan, tujuan pembicaraan dan sarana yang digunakan.
            Pembedaan ragam baku dan nonbaku adalah berdasarkan penggunaan ragam bahasa itu untuk situasi resmi dan tidak resmi.  Penggunaan bahasa dalam rapat-rapat dinas atau surat-surat dinas adalah contoh situasi resmi; tetapi penggunaan bahasa diwarung kopi dengan topic pembicaraan yang tidak menentu adalah contoh penggunaan bahasa dalam situasi tidak resmi.
            Penggunaan ragam baku juga masih terikat dengan status social lawan bicara, dengan tempat pembicara, dan dengan konteks pembicaraan. Status social lawan bicara dapat menentukan kata sapaan yang harus digunakan lawan bicara yang lebih tua dapat disapa dengan kata-kata kakak, bapak, ibu, saudara, atau tuan. Tempat pembicaraan dapat menentukan kualitas suara yang digunakan. Berbicara diruang baca sebuah perpustakaan, didalam mesjid, ditepi jalan yang bising memerlukan kuliatas yang berbeda, yang dimaksud dengan  konteks pembicaraan bisa berkenaan dengan pokok atau topic pembicaraan, dengan tepat dan waktu pembicaraan, atau juga kelompok pendengar tertentu.

BAB III
PENUTUP
3.1       Kesimpulan
Pengajaran bahasa kedua secara formal dimulai ketika anak memasuki pendidikan dasar (kira-kira usia 6 tahun) untuk bahasa nasional, dan ketika anak memasuki pendidikan menengah (kira-kira berusian 13 tahun) untuk bahasa asing (dalam hal ini bahasa inggris). Menurut Pei (1971) anak-anak pada usia 5 tahun telah dapat menguasai pola bahasa pertamanya, dengan demikian ketika anak Indonesia (yang bahasa pertamanya bahasa daerah) mulai mempelajari bahasa Indonesia. Pola-pola dan unsur bahasa pertamanya, yang selama ini yang selalu digunakan diluar rumah, akan terbawa masuk ketika mereka berbahasa Indonesia, sebagai sosioliuistik yang disebut interferensi.
 Konsep umum yang bisa ditangkap dari sekian banyak pertemuan bahwa pragmatic adalah keterampilan menggunakan bahasa menurut partisipan, topic pembicaraan, tujuan pembicaraan stuasi dan tempat berlangsungnya pembicaraan itu. Kalau pengertian itu ditangkap maka pragmatic itu bisa dikatakan identik dengan masalah pokok dalam sosiolinguistik, yaitu ‘’siapa berbicara, dengan bahasa apa, dengan siapa, kapan, dan tujuan apa’’ .

DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.  Jakarta : PT Asdi Mahasatya.
Saidi, Achmad Sani. 2010. Pemerolehan Bahasa. Palembang: Universitas PGRI.





                                                                        

Perencanaan Bahasa


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
Istilah perencanaan bahasa (languange planning) mula-mula digunakan oleh Haugen (1959) untuk pengertian usaha dalam membimbing perkembangan bahasa ke arah yang diinginkan oleh para perencana. Menurut Haugen selanjutnya, perencanaan bahasa itu tidak semata-mata meramalkan masa depan berdasarkan dari yang diketahui pada masa lampau, tetapi perencanaan itu merupakan usaha yang terarah untuk mempengaruhi masa depan. Sebagai contoh usaha perencanaan itu disebutkannya tata ejaan yang normatif , penyusunan tata bahasa dan kamus yang akan dapat dijadikan pedoman bagi para penutur di dalam masyarakat yang heterogen.
Dalam perkembangannya, setelah Haugen melancarkan istilah languange planning, pengertian perencanaan bahasa itu yang banyak dikemukakan para pakar memang menjadi bervariasi, baik dari segi luasnya kegiatan, pelaku yang berperan di dalamnya, maupun peristilahannya. Suatu rencana juga memerlukan dana dan fasilitas. Tanpa dana tak terlalu banyak yang dapat dibuat. Namun, perlu diingatkan tanpa dana pun masih ada yang dapat dibuat. Dana boleh saja berasal dari pemerintah, tetapi boleh juga dari perseorangan, yayasan, dan sebagainya. Hanya yang perlu dipersoalkan ialah pemanfaatan dana yang disediakan.
1.2  Rumsan Masalah
1.      Apa yang dimaksud perencanaan bahasa itu?
2.      Apa saja tujuan pengajaran bahasa?
3.      Bagaimana hambatan-hambatan pengajaran bahasa?
4.      Apa saja variable pengajaran bahasa?
1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengajaran bahasa
2.      Untuk memahami hambatan pengajaran bahasa
3.      Untuk mengetahui variabel bahasa
BAB 11
PEMBAHASAN
2.1 Perencanaan Bahasa
Melihat urutan dalam penanganan dan pengolahan masalah-masalah kebahasaan dalam negara yang multilingual, multirasial, dan multikultural, maka perencanaan bahasamerupakan kegiatan yang harus dilakukan sesudah melakukan kebijaksanaan bahasa. Tetapi sebelumnya perlu juga diketahui bahwa ada pula pakar yang memasukkan kebijaksanaan bahasa itu sebagai satu tahap dalam perencanaan bahasa (Neustupni 1970, Gorman 1973, dan Garvin 1973).
Istilah perencanaan bahasa (languange planning) mula-mula digunakan oleh Haugen (1959) untuk pengertian usaha dalam membimbing perkembangan bahasa ke arah yang diinginkan oleh para perencana. Menurut Haugen selanjutnya, perencanaan bahasa itu tidak semata-mata meramalkan masa depan berdasarkan dari yang diketahui pada masa lampau, tetapi perencanaan itu merupakan usaha yang terarah untuk mempengaruhi masa depan. Sebagai contoh usaha perencanaan itu disebutkannya tata ejaan yang normatif , penyusunan tata bahasa dan kamus yang akan dapat dijadikan pedoman bagi para penutur di dalam masyarakat yang heterogen.
Dalam perkembangannya, setelah Haugen melancarkan istilah languange planning, pengertian perencanaan bahasa itu yang banyak dikemukakan para pakar memang menjadi bervariasi, baik dari segi luasnya kegiatan, pelaku yang berperan di dalamnya, maupun peristilahannya. Jernudd dan Das Gupta (1971:211) mengatakan perencanaan bahasa adalah kegiatan politis dan administrasi untuk menyelesaikan persoalan bahasa di dalam masyarakat, Ray(1961, yang dikutip Moeliono 1983) berpendapat bahwa perencanaan bahasa terbatas pada saran atau rekomendasi yang aktif untuk mengatasi masalah pemakaian bahasa dengan cara yang paling baik. Keberhasilan perencanaan bahasa itu sangat bergantung pada jaringan komunikasi sosial yang ada dan pada mobilitas kekuatan sosial.
Di Indonesia kegiatan yang serupa dengan languange planing ini sebenarnya sudah berlangsung sebelum nama itu diperkenalkan oleh Hauguen (Moeliono 1983), yakni sejak zaman pendudukan Jepang ketika ada komisi Bahasa Indonesia sampai ketika Alisjabhana menerbitkan majalah Pembina Bahasa Indonesia tahun 1948. Malah kalau mau dilihat lebih jauh, languange planning di Indonesia sudah dimulai sejak Van Ophuijsen menyusun ejaan bahasa Melayu (Indonesia) pada tahun 1901, disusul denga berdirinya Commisie voor de Pfolkslectuur tahu 1908, yang pada tahun 1917 berubah namanya menjadi Balai Pustaka; lalu disambung dengan sumpah pemuda tahun 1928, dan kemudian konggres bahasa I tahun 1938 di kota Solo.
Istilah yang digunakan Alisjahbana adalah languange engineering, yang dianggapnya lebih tepat daripada istilah languange planning yang terlalu sempit maksudnya. Cita-cita Alisjahbana dalam languange engineering ini adalah pengembangan bahasa yang teratur di dalam konteks perubahan sosial, budaya dan teknologi yang lebih luas berdasarkan perencaan yang cermat. Menurut Alisjahbana masalah languange engineering yang penting adalah (1) pembakuan bahasa, (2) pemodeman bahasa, dan (3) penyediaan alat perlengkapan seperti buku pelajaran dan buku bacaan (Moelione 1983).
Dalam kaitan dengan penggunaan istilah languange engineering ini, Miller (!950) memasukkan dalam istilah itu kegiatan penciptaan bahasa internasional untuk komunikasi penerbangan,  pengubahan tata ejaan, pengembangan kosa kata khusus, pembakuan bahasa, dan penerjemahan. Sedangkan Springer (1956) menafsirkan languange engineering itu sebagai usaha pengaksaraan bahasa dan pembakuan bahasa yang belum baku sepenuhnya.
Di Indonesia lembaga yang terlibat dalam perencanaan dan pengembangan bahasa   di mulai dengan berdirinya Commisie voor de Volkslectuur yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1908, yang pada tahun 1979 berubah menjadi Balai Pustaka. Lembaga ini dengan majalahnya Sari Pustaka, Pandji Pustaka, dan Kedjawen dapat dianggap sebagai perencana dan pengembang bahasa. Lalu, pada tahun 1942 pemerintah pendudukan Jepang membentuk dua komisi Bahasa Indonesia, satu di Jakarta dan satu lagi di medan. Komisi ini diberi tugas untuk mengembangkan Bahasa Indonesia lewat pembentukkan istilah keilmuan, penyusunan tata bahasa baru dan penentuan kata pungutan baru (Moeliono 1983).
Setelah mengalami beberapa perubahan status keanministrasian, sejak 1 April 1975 lembaga tersebut bernama Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang bertugas sebagai pelaksana kebijakan di bidang penelitian dan pengembangan bahasa, bertanggung jawab langsung kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Hingga kini lembaga inilah, dengan berbagai perangkatnya, yang diberi tugas dan wewenang dalam perencanaan, pembinaan dan pengembangan bahasa di Indonesia. Masalah berikutnya dalam perencanaan bahasa ini adalah, apakah sasaran perencanaan bahasa itu. Dari berbagai kajian dapat kita lihat sasaran perencanaan bahasa itu yaitu, (1) pembinaan dan pengembangan bahasa yang direncanakan (sebagai bahasa nasional, bahasa resmi kenegaraan dan sebagainya) dan (2) khalayak di dalam masyarakat yang diharapkan akan menerima dan menggunakan saran yang diusulkan dan ditetapkan.
Kalau sasarannya adalah bahasa atau korpus bahasa yang akan dibina atau dikembangkan, maka sasaran itu dapat menjadi bermacam-macam, antara lain pengembangan sandi bahasa dalam bidang keaksaraaan, di bidang peristilahan, di bidang pemekaran ragam wacana dan sebagainya.
Suatu perencanaan bahasa tentunya harus diikuti dengan langkah-langkah pelaksanaan apa yang direncanakan. Pelaksanaan yang berkenaan dengan korpus bahasa adalah penyusunan sistem ejaan yang idel (baku), yang dapat digunakan oleh para penutur dengan baik, sebab adanya sistem ejaan yang disepakati akan memudahkan dan melancarkan jalannya komunikasi. Kemudian diikuti dengan penyusunan atau pengkodifikasian sistem tata bahasa yang dibakukan serta penyusunan kamus yang lengkap.
Pelaksanaan perencanaan bahasa ini kemungkinan besar akan mengalami hambatan yang mungkiun akibat dari perencanaannya yang kurang tepat, bisa juga dari para pemegang tampuk kebijakan, dari kelompok sosial tertentu, dari sikap bahasa para penutur, maupun dari dana dan ketenagaan.perencanaan yang kurang tepat bisa bersumber dari pengambilan kebijakan yang tidak tepat atau keliru, karena salah mengestimasi masalah kebahasaan yang harus diteliti.
Hambatan dari pemegang tampuk kebijakan bisa terjadi dilakukan oleh mereka yang memegang tampuk kebijakan di luar bidang bahasa. Di Indonesia misalnya, tidak jarang ada orang yang cukup berpengaruh bukan hanya tidak memberi contoh penggunaan bahasa yang baik, malah juga melakukan tindakan yang tidak menunjang pembinaan bahasa. Antara lain dengan mengatakan, “soal bahasa adalah urusan guru bahasa”.
Dalam hal ini, kalau kita mendengar berbagai keluhan, baik dalam forum seminar maupun dalam tulisan mengenai rendahnya mutu penguasaan bahasa Indonesia pelajar, mahasiswa, maupun cendikiawan Indonesia, kita perlu bertanya dimana letak hambatan usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia yang dilakukan melalui jenjang pendidikan formal maupun yang telah dilakukan melalui berbagai kegiatan penyuluhan dan penataran. Segudang jawaban telah ditemukan, dan  seribu satu usaha perbaikan telah dilakukan, tetapi hasilnya belum juga lebih baik.
Berhasil dan tidaknya usaha perencanaan bahasa ini adalah masalah evaluasi. Dalam hal ini memang dapat dikatakan evaluasi keberhasilan perencanaan bahasa itu memang sukar dilaksanakan. Evaluasi terhadap pembakuan bahasa memang sulkar sekali dilakukan, sebab masalah-masalah dalam pembakuan bahasa termasuk masalah yang kompleks, sukar dirumuskan, sukar dipecahkan, dan tidak mengenal aturan berhenti. Oleh karena itu, seperti kata Rittel dan Weber masalah-masalh pembakuan bahasa tersebut termasuk masalah-masalah kejam (wicked problems). Pembakuan bahasa itu sendiri, menurut Amran Halim (1979:29) merupakan proses yang berlangsung secara terus-menerus selama bahasa yang bersangkutan tetap digunakan oleh masyarakat yang hidup dan tumbuh, dan berkembang sedemikian rupa. Sehingga sebenarnya tidak dapat dikatakan dengan pasti dimana pangkal dan dimana ujungnya.
2.2 Tujuan Pengajaran Bahasa Indonesia
Tujuan pengajaran bahasa Indonesia pada semua jenjang pendidikan adalah membimbing anak didik agar mampu memfungsikan bahasa Indonesia dalam komunikasinya dengan segala aspek. Dalam pengertian ini jelas bahwa tujuan pengajaran bahasa Indonesia itu diarahkan kepada kemampuan anak didik agar melakukan komunikasi dengan bahasa Indonesia sesuai dengan fungsinya.
Antar Semi dalam bukunya Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia mengemukakan, bahwa tujuan pengajaran bahasa adalah sebagai berikut :
a)      Memperluas pengalaman anak didik melalui media massa serta dapat menyenanginya :
b)      Membantu anak didik agar mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia secara efektif sesuai dengan potensi masing-masing.
c)      Memperkenalkan kepada anak didik karya sastra yang bernilai, sehingga mereka tertarik dan terdorong untuk membacanya.
d)     Membantu dan membimbing anak didik agar memperoleh kemampuan dalam menyimak, berbicara, membaca dan menulis.
e)      Merangsang perhatian anak didik terhadap bahasa nasional serta menumbuhkan apresiasi yang baik dan mempunyai rasa tanggungjawab sehingga mempercepat keterampilan mereka dalam berbahasa Indonesia
f)       Membantu anak didik mengenai aturan bahasa Indonesia yang baik, serta mempunyai kemauan menggunakannya dalam berbahasa, baik ucapan maupun lisan.
g)      Membimbing anak didik agar mempunyai keberanian untuk menyatakan pendapat, serta memiliki kepercayaan kepada diri sendiri, sehingga mampu berkomunikasi dengan baik dan benar dalam berbagai situasi.
Tujuan pengajaran di atas menunjukan bahwa arah tujuan pengajaran bahasa Indonesia adalah terampil menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan situasi dan kondisi dan juga kemampuan mengapresiasikan sastra yang baik.
2.3 Variabel Pembelajaran Bahasa
Pernahkah Anda memikirkan bagaimana Anda belajar bahasa? Pernah jugakah Anda memikirkan prosesnya? Faktor apa saja yang menjadikan Anda, misalnya, sekarang ini dapat berbicara bahasa Indonesia dengan sangat lancar, dapat menjelasterangkan konsep-konsep kepada siswa Anda dengan baik dengan menggunakan bahasa Indonesia? Tahukah Anda bahwa sebenarnya  belajar bahasa merupakan proses yang kompleks yang melibatkan banyak variabel? Tahukah Anda bahwa banyak prinsip yang penting dalam belajar bahasa? Belajar bahasa merupakan usaha yang panjang dan kompleks. Seluruh jiwa raga Anda terlibat ketika Anda berjuang untuk dapat menguasai bahasa baru, bahasa kedua atau bahasa asing dengan budaya barunya, dengan cara berpikirnya yang baru, dengan cara bertindaknya yang baru pula.
Keterlibatan menyeluruh, kepedulian yang terus-menerus, baik fisik, intelektual, emosional sangat diperlukan untuk dapat menguasai bahasa asing dengan baik. Belajar bahasa bukan merupakan seperangkat langkah yang mudah yang dapat diprogram dalam sebuah kemasan kilat.  Sebagai guru sebaiknya Anda memahaminya dengan baik. Dari mana Anda akan memulai untuk memahami prinsip-prinsip belajar bahasa? Anda  dapat memulainya dengan pertanyaan siapa, apa, bagaimana, kapan, di mana, dan mengapa.
a.       Siapa
            Menurut Anda siapakah yang terlibat dalam belajar bahasa? Tentulah pembelajar bahasa, bukan? Siapakah pembelajar bahasa itu? Dari manakah asal-usulnya (daerahnya)? Apakah bahasa pertamanya (bahasa ibunya)? Apa tingkat pendidikannya? Siapakah orang tuanya? Bagaimanakah kapasitas intelektualnya? Bagaimana kepribadiannya? Banyak pertanyaan dapat diajukan untuk mengungkapkan siapakah sebenarnya pembelajar bahasa itu.
            Siapakah yang terlibat dalam pembelajaran bahasa itu? Hanya pembelajar sajakah? Anda sebagai guru tidak terlibatkah? Jawabnya ialah pasti terlibat. Guru juga merupakan faktor penting dalam pembelajaran bahasa. Oleh sebab itu, berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan masalah pembelajaran bahasa untuk guru sangat relevan dikemukakan. Siapakah gurunya? Apa latar belakang pendidikannya? Apakah dia memang berlatar belakang pendidikan guru bahasa? Bukankah sering ada guru bahasa Indonesia yang tidak berlatar belakang pendidikan bahasa dan sastra Indonesia? Apa bahasa pertamanya? Pelatihan apa saja yang pernah didapatkannya sehubungan dengan pembelajaran bahasa? Bagaimana kepribadiannya? Pertanyaan itu tentu saja merupakan langkah awal untuk dapat mengidentifikasi faktor yang penting dalam pembelajaran bahasa, yakni pembelajar dan pengajar.
b.      Apa
            Apa yang harus dipelajari? Bahasa apa? Apakah bahasa itu sudah dideskripsikan dengan baik? Bagaimanakah perbedaan bahasa pertama dan bahasa kedua?
c.       Bagaimana?
            Bagaimana terjadinya proses belajar bahasa? Proses kognitif apa yang dimanfaatkan di dalam belajar bahasa? Strategi dan gaya apa saja yang digunakan pembelajar? Bagaimana hubungan optimal antara ranah kognitif, ranah psikomotor, dan ranah afektif agar belajar bahasa itu membuahkan hasil yang maksimal?
d.      Kapan
            Kapan belajar bahasa itu terjadi? Salah satu kunci isu dalam penelitian belajar bahasa adalah perbedaan keberhasilan anak-anak dan orang dewasa dalam belajar bahasa kedua. Observasi umum mengatakan bahwa anak-anak adalah pembelajar bahasa yang lebih baik daripada pembelajar dewasa. Apakah isu itu benar? Jika memang demikian, mengapa perbedaan umur menyebabkan perbedaan keberhasilan belajar bahasa? Bagaimana bahasa kedua dipelajari oleh anak-anak prasekolah yang masih sangat terlibat dengan pemerolehan bahasa pertamanya? Atau oleh para praadolesen yang sudah menuntaskan bahasa pertamanya dan sedang mengembangkan belajar bahasa kedua? Atau oleh para remaja yang masih mencoba menemukan jati dirinya? Atau oleh orang dewasa yang sudah masak secara kognitif maupun afektif? Kapan waktu mereka belajar bahasa? Apakah pembelajar belajar bahasa dalam tiga, lima, atau sepuluh jam setiap minggu dalam kelas? Atau tujuh jam setiap hari dalam sebuah program celup (immersion program)? Atau dua puluh empat jam sehari dan menyatu dengan budaya bahasa kedua?
e.       Di mana
            Apakah pembelajar mencoba memperoleh bahasa kedua dalam lingkungan budaya dan kebahasaan bahasa kedua? Atau ia memumpunkan pada konteks bahasa asing di mana bahasa kedua digunakan dalam lingkungan yang artifisial? Bagaimana kondisi sosisopolitik dari masyarakat tertentu mempengaruhi hasil ketuntasan belajar bahasa kedua? Bagaimana perbedaan dan kemiripan interkultural umum mempengaruhi proses belajar bahasa?
f.       Mengapa
            Mengapa pembelajar berupaya belajar bahasa kedua? Apakah ada motivasi instrumental atau integratif dalam belajar bahasa kedua? Alasan sikap, emosional, pribadi, atau intelektual apa yang menyebabkan pembelajar belajar bahasa kedua?
Topik-topik pertanyaan itulah yang akan dijawab dalam tulisan ini. Tetapi, tentu saja, sekarang mungkin kita masih meraba-raba jawaban pertanyaan tersebut. Tetapi, paling tidak dalam benak kita, kita memiliki jawaban yang bersifat tentatif. Dalam bab ini akan dibicarakan isu pokok pembelajaran bahasa, yakni apakah bahasa itu dan bagaimana seseorang belajar dan mengajarkan bahasa?
2.4 Hambatan-Hambatan Perencanaan Bahasa
Suatu rencana pasti akan mengalami hambatan dalam pelaksanaannya. Hambatan boleh saja terjadi ketika perencanaan sedang disusun, bahkan ketika suatu rencana sedang dilaksanakan. Hambatan-hambatan itu meliputi :
a.       Pemegang tampuk kebijakan
b.      Sikap penutur bahasa
c.       Dana
d.      Ketenagaan
Kadang rencana yang telah disusun mendapat hambatan dari pemegang tampuk kebijakan pada masalah yang berbeda. Maksudnya, pemegang tampuk kebijakan yang bukan berurusan dengan persoalan kebahasaan. Misalnya di Indonesia, lembaga yang diserahi tugas untuk menentukan garis kebijakan kebahsaan adalah departemen pendidikan dan kebudayaan, dalam hal ini pusat pembinaan dan pengembangan bahasa.
Sikap penutur bahasa sangat menentukan kebijakan bahasa. Sebab, apapun yang ditetapkan oleh para ahli, apapun yang ditentukan oleh departemen, penutur bahasalah yang akhirnya menentukan. Penutur bahasalah yang mempergunakan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, sikap penutur bahasa harus diubah dari sikap negatif ke sikap positif. Sikap negatif misalnya tercermin dari sikap tidak mau tahu tentang garis kebijakan yang sedang dijalankan. Sikap negatif tercermin pula dari ucapan bahwa persoalan kebahasaan hanya tanggung jawab pemerintah dan ahli bahasa. Sikap-sikap sepertini sangat menghambat perencanaan dan kebijakan bahasa.
Suatu rencana juga memerlukan dana dan fasilitas. Tanpa dana tak terlalu banyak yang dapat dibuat. Namun, perlu diingatkan tanpa dana pun masih ada yang dapat dibuat. Dana boleh saja berasal dari pemerintah, tetapi boleh juga dari perseorangan, yayasan, dan sebagainya. Hanya yang perlu dipersoalkan ialah pemanfaatan dana yang disediakan.
Akhirnya kesulitan yang didapati dalam pelaksanaan perencanaan bahasa ialah faktor ketenagaan. Tenaga yang terlatih menangani soal-soal kebahasaan baik dari segi kuantitas maupun kualitas sangat kurang mengingat bahasa yang ditangani terlalu banyak. Penanganan ketenagaan menyangkut pula keamanan dan kesejahteraan tenaga-tenaga tersebut agar dapat melaksanakan tugas pengabdiannya dengan baik. Banyak tenaga yang mempunyai profesi dalam kebahasaan, tetapi tidak tertarik dalam persoalan kebahasaan karena keamanan dan kesejahteraan mereka tidak terjamin. Untuk itu masalah ketenagaan kebahasaan harus dikaitkan dengan persoalan keamanan dan kesejahteraan mereka.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan.
a)      Perencanaan Bahasa
Istilah perencanaan bahasa (languange planning) mula-mula digunakan oleh Haugen (1959) untuk pengertian usaha dalam membimbing perkembangan bahasa ke arah yang diinginkan oleh para perencana.
b)      Tujuan Pengajaran Bahasa Indonesia
Tujuan pengajaran bahasa Indonesia pada semua jenjang pendidikan adalah membimbing anak didik agar mampu memfungsikan bahasa Indonesia dalam komunikasinya dengan segala aspek. Dalam pengertian ini jelas bahwa tujuan pengajaran bahasa Indonesia itu diarahkan kepada kemampuan anak didik agar melakukan komunikasi dengan bahasa Indonesia sesuai dengan fungsinya.
c)      variabel bahasa
Seluruh jiwa raga Anda terlibat ketika Anda berjuang untuk dapat menguasai bahasa baru, bahasa kedua atau bahasa asing dengan budaya barunya, dengan cara berpikirnya yang baru, dengan cara bertindaknya yang baru pula. Keterlibatan menyeluruh, kepedulian yang terus-menerus, baik fisik, intelektual, emosional sangat diperlukan untuk dapat menguasai bahasa asing dengan baik.
d)     Hambatan-Hambatan Perencanaan Bahasa
Suatu rencana pasti akan mengalami hambatan dalam pelaksanaannya. Hambatan boleh saja terjadi ketika perencanaan sedang disusun, bahkan ketika suatu rencana sedang dilaksanakan.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer A dan Agustina L.2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta,Renika Cipta.
Blog.sunan-ampel.ac.id/warsiman/2010/05/18/kebijaksanaan-pemerintah-dalam-upaya-pembinaan-dan-pengembangan-bahasa-nasional-2/

Variasi dan Jenis Bahasa


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Variasi bahasa atau ragam bahasa merupakan bahasan pokok dalam studi sosiolinguistik, sehingga Kridalaksana (1974) mengidentifikasikan sosiolinguistik sebagai vabang linguistik yang berusaha menjelaskan ciri – ciri variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri–ciri variasi bahasa tersebut dengan ciri-ciri sosial kemasyarakatan. Kemudian dengan mengutip pendapat Sishman. (1971:4) Kridalaksana mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari ciri dan fungsi berbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara bahasa dengan ciri dan fungsi itu dalam suatu masyarakat bahasa. Dalam hal variasi atau ragam bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beranekka ragam.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan diatas, yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah:
1.      Jelaskan variasi bahasa dari berbagai aspek?

1.3  Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, yang menjadi tujuan makalah ini adalah:
1.      Mendeskripsikan variasi bahasa dari berbagai aspek.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Segi Penutur
Variasi bahasa pertama yang kita lihat berdasarkan penuturnya adalah variasi bahasa yang disebut idiolek, yakni variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Menurut konsep idiolek, setiap orang mempunyai variasi bahasanya atau idioleknya masing-masing. Variasi idiolek ini berkenaan dengan “warna” suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya. Namun  ang paling dominan adlaha “warna” suara itu, sehingga jika kita cukup akrab dengan seseorang, hanya dengan mendengar suara bicaranya tanpa melihat orangnya, maka dapat mengenalinya.
Variasi bahasa kedua berdasarkan penuturnya adalah yang disebut dialek, yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah, atau area tertentu. Karena dialek ini didasarkan pada wilayah atau area tempat tinggal penutur, maka dialek ini lazim disebut dialek areal, dialek regional atau dialek geografi.
Variasi ketiga berdasarkan penutur adalah yang disebutkronolek atau dialek temporal, yakni variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu.
Variasi bahasa yang keempat berdasarkan penuturnya adalah apa yang disebut sosiolek atau dialek sosial, yakni variasi bahasa yang berkenan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Dalam sosiolinguistik biasanya variasi ilmiah yang paling banyak dibicarakan dan paling banyak menyita waktu untuk membicarakannya, karena variasi ini menyangkut semua masalah pribadi para penuturnya, seperti usia, pendidikan, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi, dan sebagainya.
Sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas sosial para penuturnya , biasanya dikemukakan orang variasi bahasa yang disebut akrolek, basilek, vulgar, salng, kolokial, jargon,argol, dan ken.
Akrolek adalah variasi sosial yang dianggap lebih tinggi atau lebih bergengsi daripada variasi sosial lainnya. Sebagai contoh akrolek ini adalah yang disebut bahasa bagongan, yaitu variasi bahasa jawa yang khusus digunakan oleh para bangsawan kraton jawa. Basilek adalah variasi sosial yang dianggap kutrang bergengsi, atau bahkan dianggap dipandang rendah. Vulgar adalah variasi sosial yang ciri-cirinyatampak pemakaian bahasa oleh mereka yang kurang terpelajar atau dari kalangan mereka yang tidak berpendidikan. Slang adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Artinya, variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas, dan tidak boleh diketahui oleh kalangan diluar kelompok itu. Kolokial adalah variasi sosial yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Kata kolokial berasal dari kata colloqium (percakapan, konversasi). Jadi, kolokial berarti bahasa percakapan, bukan bahasa tulis. Jargon adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. Ungkapan yang digunakan seringkali tidak dapat dipahami oleh masyarakat umum atau masyarakat diluar kelompoknya. Namun, ungkapan-ungkapan tersebut tidak bersifat rahasia. Argot adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada profesi-profesi tertentu dan bersifat rahasia. Letak  kekhususan argot adalah pada kosakata. Ken adalah (inggis = cant) variasi sosial tertentu yang berada “memelas”, dibuat merengek-rengek, penuh dengan kepura-puraan.
2.2 Variasi Pemakaian
Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaanya pemakaian atau fungsinya disebut fungsiolek (Nababan, 1987), ragam atau register. Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan. Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian adalah menyangkut bahasa digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perekonomian, perdagangan, pendidikan, dan kegiatan keilmuan. Variasi bahasa berdasarkan bidang kegiatan ini yang paling tampak cirinya adalah dalam bidang kosakata. Setiap bidang kegiatan ini biasanya mempunyai sejumlah kosakata khusus atau tertentu yang tidak digunakan dalam bidang lain.namun demikian, variasi berdasarakan bidang kegiatan  ini tampak pula dalam tataran morfologi dan sintaksis.
Variasi bahasa atau ragam  bahasa sastra biasanya menekankan penggunaan bahasa dari segi estetis, sehingga dipilihlah dan digunakanlah kosakata yang secara estetis memiliki ciri eufoni serta daya ungkap yang paling tepat. Struktur morfologi dan sintaksis yang normstif seringkali dikorbankan dan dihindarkan untuk mencapai efek keufonian  dan kedayaungkapan yang tepat atau paling tepat. Begitu juga dalam bahasa umum orang mengungkapkan sesuatu secara lugas dan polos, tetapi dalam ragam bahasa sastra akan diungkapkan secara estetis.
Dalam bahasa umum orang, misalnya, akan mengatakan, “saya sudah tua”, tetapi dalam bahasa sasatra Ali hasjmi, seorang penyair indonesia, mengatakan dalam bentuk puisi.
Pagiku hilang sudah melayang
Hari mudaku sudah pergi
Sekarang petang datang membayang
Batang usiaku sudah tinggi.
2.3 Segi keformalan
Berdasarkan tingkat keformalannya, Martin Joos (1967) membagi variasi bahasa atas lima macam gaya, yaitu ragam beku (frozen), ragam resmi (formal), ragam usaha (konsultatif), ragam santai (casual), dan ragam akrab (intimate).
Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal yang digunakan dalam situasi-situasi khidmat, dan upacara-upacara resmi, misalnya dalam upacara kenegaraan, khotbah dimesjid, tata cara pengambilan sumpah, kitab undang-undang, akte notaris, dan surat-surat keputusan.
Ragam resmi adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan, rapatdinas, surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, dan sebagainya. Pola dan kaidah ragam resmi sudah ditetapkan secara mantap sebagai suatu standar. Ragam resmi ini pada dasarnya sama dengan ragam bahasa baku atau standar yang digunakan dalam situasi resmi, dan tidak dalam situasi yang tidak resmi.
Ragam usaha adalah variasi bahasa yang lazim digunakan dalam pembicaraan biasa disekolah, dan rapat-rapat atau pembicaraan yang berorientasi kepada hasil atau produksi. Ragam santai adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib pada waktu beristirahat, berolah raga, berekreasi, dan sebagainya.ragam santai ini banyak menggunakan bentuk alegro, yakni bentuk kata atau ujaran yang dipendekkan. Ragam akrab adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab, seperti antar anggita keluarga, dan antar teman yang sudah karib. Ragam ini ditandai dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan dengan artikulasi yang seringkali tidak jelas.
2.4 Segi sarana
Variasi bahasa dapat dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan, dapat pula disebut dengan adanya ragam lisan dan ragam tulis, atau juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, yakni misalnya dalam bertelepon dan bertelegraf. Adanya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis  didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa lisan dan bahasa tulis memiliki wujud struktur yang tidak sama. Adanya ketidaksamaan wujud struktur ini adalah karena dalam berbahasa lisan atau dalam menyampaikan informasi secara isan, kita dibantu oleh unrus-unsur nonsegmenttal atau unsur nonlinguistik yang berupa nada suara, gerak-gerik tangan gelengan kepala, dan sejumlah gejala-gejala fisik lainnya. Padahal dalam ragam bahasa tulis hal-hal yang disebutkan itu tidak ada.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Variasi bahasa atau ragam bahasa merupakan bahasan pokok dalam studi sosiolinguistik, sehingga Kridalaksana (1974) mengidentifikasikan sosiolinguistik sebagai vabang linguistik yang berusaha menjelaskan ciri – ciri variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri–ciri variasi bahasa tersebut dengan ciri-ciri sosial kemasyarakatan.
Variasi bahasa antara lain dari Segi penutur yaitu variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Menurut konsep idiolek, setiap orang mempunyai variasi bahasanya atau idioleknya masing-masing. Segi pemakaian biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan. Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian adalah menyangkut bahasa digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perekonomian, perdagangan, pendidikan, dan kegiatan keilmuan. Segi keformalan Berdasarkan tingkat keformalannya, Martin Joos (1967) membagi variasi bahasa atas lima macam gaya, yaitu ragam beku (frozen), ragam resmi (formal), ragam usaha (konsultatif), ragam santai (casual), dan ragam akrab (intimate). Segi sarana Variasi bahasa dapat dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan, dapat pula disebut dengan adanya ragam lisan dan ragam tulis, atau juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, yakni misalnya dalam bertelepon dan bertelegraf.