BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Istilah perencanaan bahasa (languange planning)
mula-mula digunakan oleh Haugen (1959) untuk pengertian usaha dalam membimbing
perkembangan bahasa ke arah yang diinginkan oleh para perencana. Menurut Haugen
selanjutnya, perencanaan bahasa itu tidak semata-mata meramalkan masa depan
berdasarkan dari yang diketahui pada masa lampau, tetapi perencanaan itu
merupakan usaha yang terarah untuk mempengaruhi masa depan. Sebagai contoh
usaha perencanaan itu disebutkannya tata ejaan yang normatif , penyusunan tata
bahasa dan kamus yang akan dapat dijadikan pedoman bagi para penutur di dalam
masyarakat yang heterogen.
Dalam perkembangannya, setelah Haugen melancarkan
istilah languange planning, pengertian perencanaan bahasa itu yang banyak
dikemukakan para pakar memang menjadi bervariasi, baik dari segi luasnya
kegiatan, pelaku yang berperan di dalamnya, maupun peristilahannya. Suatu rencana juga memerlukan dana dan
fasilitas. Tanpa dana tak terlalu banyak yang dapat dibuat. Namun, perlu
diingatkan tanpa dana pun masih ada yang dapat dibuat. Dana boleh saja berasal
dari pemerintah, tetapi boleh juga dari perseorangan, yayasan, dan sebagainya.
Hanya yang perlu dipersoalkan ialah pemanfaatan dana yang disediakan.
1.2
Rumsan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud
perencanaan bahasa itu?
2.
Apa saja
tujuan pengajaran bahasa?
3.
Bagaimana
hambatan-hambatan pengajaran bahasa?
4.
Apa saja variable pengajaran
bahasa?
1.3
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengajaran bahasa
2.
Untuk
memahami hambatan pengajaran bahasa
3.
Untuk
mengetahui variabel bahasa
BAB
11
PEMBAHASAN
2.1
Perencanaan Bahasa
Melihat urutan dalam penanganan dan pengolahan
masalah-masalah kebahasaan dalam negara yang multilingual, multirasial, dan
multikultural, maka perencanaan bahasamerupakan kegiatan yang harus dilakukan
sesudah melakukan kebijaksanaan bahasa. Tetapi sebelumnya perlu juga diketahui
bahwa ada pula pakar yang memasukkan kebijaksanaan bahasa itu sebagai satu
tahap dalam perencanaan bahasa (Neustupni 1970, Gorman 1973, dan Garvin 1973).
Istilah perencanaan bahasa (languange planning)
mula-mula digunakan oleh Haugen (1959) untuk pengertian usaha dalam membimbing
perkembangan bahasa ke arah yang diinginkan oleh para perencana. Menurut Haugen
selanjutnya, perencanaan bahasa itu tidak semata-mata meramalkan masa depan
berdasarkan dari yang diketahui pada masa lampau, tetapi perencanaan itu
merupakan usaha yang terarah untuk mempengaruhi masa depan. Sebagai contoh
usaha perencanaan itu disebutkannya tata ejaan yang normatif , penyusunan tata
bahasa dan kamus yang akan dapat dijadikan pedoman bagi para penutur di dalam
masyarakat yang heterogen.
Dalam perkembangannya, setelah Haugen melancarkan
istilah languange planning, pengertian perencanaan bahasa itu yang
banyak dikemukakan para pakar memang menjadi bervariasi, baik dari segi luasnya
kegiatan, pelaku yang berperan di dalamnya, maupun peristilahannya. Jernudd dan
Das Gupta (1971:211) mengatakan perencanaan bahasa adalah kegiatan politis dan
administrasi untuk menyelesaikan persoalan bahasa di dalam masyarakat,
Ray(1961, yang dikutip Moeliono 1983) berpendapat bahwa perencanaan bahasa
terbatas pada saran atau rekomendasi yang aktif untuk mengatasi masalah
pemakaian bahasa dengan cara yang paling baik. Keberhasilan perencanaan bahasa
itu sangat bergantung pada jaringan komunikasi sosial yang ada dan pada
mobilitas kekuatan sosial.
Di Indonesia kegiatan yang serupa dengan languange
planing ini sebenarnya sudah berlangsung sebelum nama itu diperkenalkan
oleh Hauguen (Moeliono 1983), yakni sejak zaman pendudukan Jepang ketika ada
komisi Bahasa Indonesia sampai ketika Alisjabhana menerbitkan majalah Pembina
Bahasa Indonesia tahun 1948. Malah kalau mau dilihat lebih jauh, languange
planning di Indonesia sudah dimulai sejak Van Ophuijsen menyusun ejaan
bahasa Melayu (Indonesia) pada tahun 1901, disusul denga berdirinya Commisie
voor de Pfolkslectuur tahu 1908, yang pada tahun 1917 berubah namanya menjadi
Balai Pustaka; lalu disambung dengan sumpah pemuda tahun 1928, dan kemudian
konggres bahasa I tahun 1938 di kota Solo.
Istilah yang digunakan Alisjahbana adalah languange
engineering, yang dianggapnya lebih tepat daripada istilah languange
planning yang terlalu sempit maksudnya. Cita-cita Alisjahbana dalam languange
engineering ini adalah pengembangan bahasa yang teratur di dalam konteks
perubahan sosial, budaya dan teknologi yang lebih luas berdasarkan perencaan
yang cermat. Menurut Alisjahbana masalah languange engineering yang penting
adalah (1) pembakuan bahasa, (2) pemodeman bahasa, dan (3) penyediaan alat
perlengkapan seperti buku pelajaran dan buku bacaan (Moelione 1983).
Dalam kaitan dengan penggunaan istilah languange
engineering ini, Miller (!950) memasukkan dalam istilah itu kegiatan penciptaan
bahasa internasional untuk komunikasi penerbangan, pengubahan tata ejaan,
pengembangan kosa kata khusus, pembakuan bahasa, dan penerjemahan. Sedangkan
Springer (1956) menafsirkan languange engineering itu sebagai usaha
pengaksaraan bahasa dan pembakuan bahasa yang belum baku sepenuhnya.
Di Indonesia lembaga yang terlibat dalam perencanaan
dan pengembangan bahasa di mulai dengan berdirinya Commisie voor
de Volkslectuur yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun
1908, yang pada tahun 1979 berubah menjadi Balai Pustaka. Lembaga ini dengan
majalahnya Sari Pustaka, Pandji Pustaka, dan Kedjawen dapat dianggap sebagai
perencana dan pengembang bahasa. Lalu, pada tahun 1942 pemerintah pendudukan
Jepang membentuk dua komisi Bahasa Indonesia, satu di Jakarta dan satu lagi di
medan. Komisi ini diberi tugas untuk mengembangkan Bahasa Indonesia lewat
pembentukkan istilah keilmuan, penyusunan tata bahasa baru dan penentuan kata
pungutan baru (Moeliono 1983).
Setelah mengalami beberapa perubahan status
keanministrasian, sejak 1 April 1975 lembaga tersebut bernama Pusat
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang bertugas sebagai pelaksana kebijakan di
bidang penelitian dan pengembangan bahasa, bertanggung jawab langsung kepada
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Hingga kini lembaga inilah, dengan berbagai
perangkatnya, yang diberi tugas dan wewenang dalam perencanaan, pembinaan dan
pengembangan bahasa di Indonesia. Masalah berikutnya dalam perencanaan bahasa
ini adalah, apakah sasaran perencanaan bahasa itu. Dari berbagai kajian dapat
kita lihat sasaran perencanaan bahasa itu yaitu, (1) pembinaan dan pengembangan
bahasa yang direncanakan (sebagai bahasa nasional, bahasa resmi kenegaraan dan
sebagainya) dan (2) khalayak di dalam masyarakat yang diharapkan akan menerima
dan menggunakan saran yang diusulkan dan ditetapkan.
Kalau sasarannya adalah bahasa atau korpus bahasa
yang akan dibina atau dikembangkan, maka sasaran itu dapat menjadi
bermacam-macam, antara lain pengembangan sandi bahasa dalam bidang keaksaraaan,
di bidang peristilahan, di bidang pemekaran ragam wacana dan sebagainya.
Suatu perencanaan bahasa tentunya harus diikuti
dengan langkah-langkah pelaksanaan apa yang direncanakan. Pelaksanaan yang
berkenaan dengan korpus bahasa adalah penyusunan sistem ejaan yang idel (baku),
yang dapat digunakan oleh para penutur dengan baik, sebab adanya sistem ejaan
yang disepakati akan memudahkan dan melancarkan jalannya komunikasi. Kemudian
diikuti dengan penyusunan atau pengkodifikasian sistem tata bahasa yang
dibakukan serta penyusunan kamus yang lengkap.
Pelaksanaan perencanaan bahasa ini kemungkinan besar
akan mengalami hambatan yang mungkiun akibat dari perencanaannya yang kurang
tepat, bisa juga dari para pemegang tampuk kebijakan, dari kelompok sosial
tertentu, dari sikap bahasa para penutur, maupun dari dana dan ketenagaan.perencanaan
yang kurang tepat bisa bersumber dari pengambilan kebijakan yang tidak tepat
atau keliru, karena salah mengestimasi masalah kebahasaan yang harus diteliti.
Hambatan dari pemegang tampuk kebijakan bisa terjadi
dilakukan oleh mereka yang memegang tampuk kebijakan di luar bidang bahasa. Di
Indonesia misalnya, tidak jarang ada orang yang cukup berpengaruh bukan hanya
tidak memberi contoh penggunaan bahasa yang baik, malah juga melakukan tindakan
yang tidak menunjang pembinaan bahasa. Antara lain dengan mengatakan, “soal
bahasa adalah urusan guru bahasa”.
Dalam hal ini, kalau kita mendengar berbagai
keluhan, baik dalam forum seminar maupun dalam tulisan mengenai rendahnya mutu
penguasaan bahasa Indonesia pelajar, mahasiswa, maupun cendikiawan Indonesia,
kita perlu bertanya dimana letak hambatan usaha pembinaan dan pengembangan
bahasa Indonesia yang dilakukan melalui jenjang pendidikan formal maupun yang
telah dilakukan melalui berbagai kegiatan penyuluhan dan penataran. Segudang
jawaban telah ditemukan, dan seribu satu usaha perbaikan telah dilakukan,
tetapi hasilnya belum juga lebih baik.
Berhasil dan tidaknya usaha perencanaan bahasa ini
adalah masalah evaluasi. Dalam hal ini memang dapat dikatakan evaluasi
keberhasilan perencanaan bahasa itu memang sukar dilaksanakan. Evaluasi
terhadap pembakuan bahasa memang sulkar sekali dilakukan, sebab masalah-masalah
dalam pembakuan bahasa termasuk masalah yang kompleks, sukar dirumuskan, sukar
dipecahkan, dan tidak mengenal aturan berhenti. Oleh karena itu, seperti kata
Rittel dan Weber masalah-masalh pembakuan bahasa tersebut termasuk
masalah-masalah kejam (wicked problems). Pembakuan bahasa itu sendiri,
menurut Amran Halim (1979:29) merupakan proses yang berlangsung secara
terus-menerus selama bahasa yang bersangkutan tetap digunakan oleh masyarakat
yang hidup dan tumbuh, dan berkembang sedemikian rupa. Sehingga sebenarnya
tidak dapat dikatakan dengan pasti dimana pangkal dan dimana ujungnya.
2.2 Tujuan Pengajaran Bahasa
Indonesia
Tujuan pengajaran bahasa Indonesia
pada semua jenjang pendidikan adalah membimbing anak didik agar mampu
memfungsikan bahasa Indonesia dalam komunikasinya dengan segala aspek. Dalam
pengertian ini jelas bahwa tujuan pengajaran bahasa Indonesia itu diarahkan
kepada kemampuan anak didik agar melakukan komunikasi dengan bahasa Indonesia
sesuai dengan fungsinya.
Antar Semi dalam bukunya Rancangan
Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia mengemukakan, bahwa tujuan pengajaran
bahasa adalah sebagai berikut :
a)
Memperluas
pengalaman anak didik melalui media massa serta dapat menyenanginya :
b)
Membantu
anak didik agar mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia secara efektif
sesuai dengan potensi masing-masing.
c)
Memperkenalkan
kepada anak didik karya sastra yang bernilai, sehingga mereka tertarik dan
terdorong untuk membacanya.
d)
Membantu
dan membimbing anak didik agar memperoleh kemampuan dalam menyimak, berbicara,
membaca dan menulis.
e)
Merangsang
perhatian anak didik terhadap bahasa nasional serta menumbuhkan apresiasi yang
baik dan mempunyai rasa tanggungjawab sehingga mempercepat keterampilan mereka
dalam berbahasa Indonesia
f)
Membantu
anak didik mengenai aturan bahasa Indonesia yang baik, serta mempunyai kemauan
menggunakannya dalam berbahasa, baik ucapan maupun lisan.
g)
Membimbing
anak didik agar mempunyai keberanian untuk menyatakan pendapat, serta memiliki
kepercayaan kepada diri sendiri, sehingga mampu berkomunikasi dengan baik dan
benar dalam berbagai situasi.
Tujuan pengajaran di atas menunjukan
bahwa arah tujuan pengajaran bahasa Indonesia adalah terampil menggunakan
bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan situasi dan kondisi dan juga
kemampuan mengapresiasikan sastra yang baik.
2.3 Variabel Pembelajaran Bahasa
Pernahkah Anda
memikirkan bagaimana Anda belajar bahasa? Pernah jugakah Anda memikirkan
prosesnya? Faktor apa saja yang menjadikan Anda, misalnya, sekarang ini dapat
berbicara bahasa Indonesia dengan sangat lancar, dapat menjelasterangkan
konsep-konsep kepada siswa Anda dengan baik dengan menggunakan bahasa
Indonesia? Tahukah Anda bahwa sebenarnya
belajar bahasa merupakan proses yang kompleks yang melibatkan banyak
variabel? Tahukah Anda bahwa banyak prinsip yang penting dalam belajar bahasa?
Belajar bahasa merupakan usaha yang panjang dan kompleks. Seluruh jiwa raga
Anda terlibat ketika Anda berjuang untuk dapat menguasai bahasa baru, bahasa
kedua atau bahasa asing dengan budaya barunya, dengan cara berpikirnya yang
baru, dengan cara bertindaknya yang baru pula.
Keterlibatan
menyeluruh, kepedulian yang terus-menerus, baik fisik, intelektual, emosional
sangat diperlukan untuk dapat menguasai bahasa asing dengan baik. Belajar
bahasa bukan merupakan seperangkat langkah yang mudah yang dapat diprogram
dalam sebuah kemasan kilat. Sebagai guru
sebaiknya Anda memahaminya dengan baik. Dari mana Anda akan memulai untuk
memahami prinsip-prinsip belajar bahasa? Anda
dapat memulainya dengan pertanyaan siapa,
apa, bagaimana, kapan, di mana, dan mengapa.
a.
Siapa
Menurut
Anda siapakah yang terlibat dalam belajar bahasa? Tentulah pembelajar bahasa,
bukan? Siapakah pembelajar bahasa itu? Dari manakah asal-usulnya (daerahnya)?
Apakah bahasa pertamanya (bahasa ibunya)? Apa tingkat pendidikannya? Siapakah
orang tuanya? Bagaimanakah kapasitas intelektualnya? Bagaimana kepribadiannya?
Banyak pertanyaan dapat diajukan untuk mengungkapkan siapakah sebenarnya
pembelajar bahasa itu.
Siapakah
yang terlibat dalam pembelajaran bahasa itu? Hanya pembelajar sajakah? Anda
sebagai guru tidak terlibatkah? Jawabnya ialah pasti terlibat. Guru juga
merupakan faktor penting dalam pembelajaran bahasa. Oleh sebab itu, berbagai
pertanyaan yang berkaitan dengan masalah pembelajaran bahasa untuk guru sangat
relevan dikemukakan. Siapakah gurunya? Apa latar belakang pendidikannya? Apakah
dia memang berlatar belakang pendidikan guru bahasa? Bukankah sering ada guru
bahasa Indonesia yang tidak berlatar belakang pendidikan bahasa dan sastra
Indonesia? Apa bahasa pertamanya? Pelatihan apa saja yang pernah didapatkannya
sehubungan dengan pembelajaran bahasa? Bagaimana kepribadiannya? Pertanyaan itu
tentu saja merupakan langkah awal untuk dapat mengidentifikasi faktor yang
penting dalam pembelajaran bahasa, yakni pembelajar dan pengajar.
b.
Apa
Apa
yang harus dipelajari? Bahasa apa? Apakah bahasa itu sudah dideskripsikan
dengan baik? Bagaimanakah perbedaan bahasa pertama dan bahasa kedua?
c.
Bagaimana?
Bagaimana
terjadinya proses belajar bahasa? Proses kognitif apa yang dimanfaatkan di
dalam belajar bahasa? Strategi dan gaya apa saja yang digunakan pembelajar?
Bagaimana hubungan optimal antara ranah kognitif, ranah psikomotor, dan ranah
afektif agar belajar bahasa itu membuahkan hasil yang maksimal?
d.
Kapan
Kapan
belajar bahasa itu terjadi? Salah satu kunci isu dalam penelitian belajar
bahasa adalah perbedaan keberhasilan anak-anak dan orang dewasa dalam belajar
bahasa kedua. Observasi umum mengatakan bahwa anak-anak adalah pembelajar
bahasa yang lebih baik daripada pembelajar dewasa. Apakah isu itu benar? Jika
memang demikian, mengapa perbedaan umur menyebabkan perbedaan keberhasilan
belajar bahasa? Bagaimana bahasa kedua dipelajari oleh anak-anak prasekolah
yang masih sangat terlibat dengan pemerolehan bahasa pertamanya? Atau oleh para
praadolesen yang sudah menuntaskan bahasa pertamanya dan sedang mengembangkan
belajar bahasa kedua? Atau oleh para remaja yang masih mencoba menemukan jati
dirinya? Atau oleh orang dewasa yang sudah masak secara kognitif maupun
afektif? Kapan waktu mereka belajar bahasa? Apakah pembelajar belajar bahasa
dalam tiga, lima, atau sepuluh jam setiap minggu dalam kelas? Atau tujuh jam
setiap hari dalam sebuah program celup (immersion
program)? Atau dua puluh empat jam sehari dan menyatu dengan budaya bahasa
kedua?
e.
Di mana
Apakah
pembelajar mencoba memperoleh bahasa kedua dalam lingkungan budaya dan
kebahasaan bahasa kedua? Atau ia memumpunkan pada konteks bahasa asing di mana
bahasa kedua digunakan dalam lingkungan yang artifisial? Bagaimana kondisi
sosisopolitik dari masyarakat tertentu mempengaruhi hasil ketuntasan belajar
bahasa kedua? Bagaimana perbedaan dan kemiripan interkultural umum mempengaruhi
proses belajar bahasa?
f.
Mengapa
Mengapa
pembelajar berupaya belajar bahasa kedua? Apakah ada motivasi instrumental atau
integratif dalam belajar bahasa kedua? Alasan sikap, emosional, pribadi, atau
intelektual apa yang menyebabkan pembelajar belajar bahasa kedua?
Topik-topik pertanyaan
itulah yang akan dijawab dalam tulisan ini. Tetapi, tentu saja, sekarang
mungkin kita masih meraba-raba jawaban pertanyaan tersebut. Tetapi, paling
tidak dalam benak kita, kita memiliki jawaban yang bersifat tentatif. Dalam bab
ini akan dibicarakan isu pokok pembelajaran bahasa, yakni apakah bahasa itu dan
bagaimana seseorang belajar dan mengajarkan bahasa?
2.4 Hambatan-Hambatan
Perencanaan Bahasa
Suatu rencana pasti akan mengalami
hambatan dalam pelaksanaannya. Hambatan boleh saja terjadi ketika perencanaan
sedang disusun, bahkan ketika suatu rencana sedang dilaksanakan.
Hambatan-hambatan itu meliputi :
a.
Pemegang tampuk kebijakan
b.
Sikap penutur bahasa
c.
Dana
d.
Ketenagaan
Kadang rencana yang telah disusun
mendapat hambatan dari pemegang tampuk kebijakan pada masalah yang berbeda.
Maksudnya, pemegang tampuk kebijakan yang bukan berurusan dengan persoalan
kebahasaan. Misalnya di Indonesia, lembaga yang diserahi tugas untuk menentukan
garis kebijakan kebahsaan adalah departemen pendidikan dan kebudayaan, dalam
hal ini pusat pembinaan dan pengembangan bahasa.
Sikap penutur bahasa sangat menentukan
kebijakan bahasa. Sebab, apapun yang ditetapkan oleh para ahli, apapun yang
ditentukan oleh departemen, penutur bahasalah yang akhirnya menentukan. Penutur
bahasalah yang mempergunakan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu,
sikap penutur bahasa harus diubah dari sikap negatif ke sikap positif. Sikap
negatif misalnya tercermin dari sikap tidak mau tahu tentang garis kebijakan
yang sedang dijalankan. Sikap negatif tercermin pula dari ucapan bahwa
persoalan kebahasaan hanya tanggung jawab pemerintah dan ahli bahasa.
Sikap-sikap sepertini sangat menghambat perencanaan dan kebijakan bahasa.
Suatu rencana juga memerlukan dana dan
fasilitas. Tanpa dana tak terlalu banyak yang dapat dibuat. Namun, perlu
diingatkan tanpa dana pun masih ada yang dapat dibuat. Dana boleh saja berasal
dari pemerintah, tetapi boleh juga dari perseorangan, yayasan, dan sebagainya.
Hanya yang perlu dipersoalkan ialah pemanfaatan dana yang disediakan.
Akhirnya kesulitan yang didapati dalam
pelaksanaan perencanaan bahasa ialah faktor ketenagaan. Tenaga yang terlatih
menangani soal-soal kebahasaan baik dari segi kuantitas maupun kualitas sangat
kurang mengingat bahasa yang ditangani terlalu banyak. Penanganan ketenagaan
menyangkut pula keamanan dan kesejahteraan tenaga-tenaga tersebut agar dapat
melaksanakan tugas pengabdiannya dengan baik. Banyak tenaga yang mempunyai
profesi dalam kebahasaan, tetapi tidak tertarik dalam persoalan kebahasaan
karena keamanan dan kesejahteraan mereka tidak terjamin. Untuk itu masalah
ketenagaan kebahasaan harus dikaitkan dengan persoalan keamanan dan
kesejahteraan mereka.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan.
a)
Perencanaan
Bahasa
Istilah perencanaan bahasa (languange planning)
mula-mula digunakan oleh Haugen (1959) untuk pengertian usaha dalam membimbing
perkembangan bahasa ke arah yang diinginkan oleh para perencana.
b) Tujuan
Pengajaran Bahasa Indonesia
Tujuan pengajaran bahasa Indonesia pada semua
jenjang pendidikan adalah membimbing anak didik agar mampu memfungsikan bahasa
Indonesia dalam komunikasinya dengan segala aspek. Dalam pengertian ini jelas
bahwa tujuan pengajaran bahasa Indonesia itu diarahkan kepada kemampuan anak
didik agar melakukan komunikasi dengan bahasa Indonesia sesuai dengan
fungsinya.
c) variabel bahasa
Seluruh jiwa raga
Anda terlibat ketika Anda berjuang untuk dapat menguasai bahasa baru, bahasa kedua
atau bahasa asing dengan budaya barunya, dengan cara berpikirnya yang baru,
dengan cara bertindaknya yang baru pula. Keterlibatan menyeluruh, kepedulian
yang terus-menerus, baik fisik, intelektual, emosional sangat diperlukan untuk
dapat menguasai bahasa asing dengan baik.
d) Hambatan-Hambatan
Perencanaan Bahasa
Suatu rencana pasti akan mengalami hambatan dalam
pelaksanaannya. Hambatan boleh saja terjadi ketika perencanaan sedang disusun,
bahkan ketika suatu rencana sedang dilaksanakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Chaer A dan
Agustina L.2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta,Renika Cipta.
Blog.sunan-ampel.ac.id/warsiman/2010/05/18/kebijaksanaan-pemerintah-dalam-upaya-pembinaan-dan-pengembangan-bahasa-nasional-2/