Rabu, 20 Juni 2012

Penelitian Sosiolinguistik


BAB I

1.1.         Latar  belakang
Penelitian Sosiolinguistik yaitu merupakan bidang garapan antar dua disiplin ilmu, yaitu linguistik yang berkutat dengan masalah kebahasaan di satu sisi, dengan disiplin sosiologi yang menaruh perhatian pada masalah sosial/masyarakat di sisi yang lain.
Bidang linguistic yang disebut bidang studi pemakaian bahasa merupakan bagian terbesar dari pembahasan dalam bidang antar disiplin yang disebut sosiolinguistik. Dengan kata lain, bidang linguistik berhubungan dengan pemakaian bahasa yang merupakan salah satu bagian dari bidang studi sosio-linguistik.Oleh karena itu,sosiolinguistik memandang bahwa suatu bahasa tidak pernah homogen,ia akan selalu terdiri atas ragam-ragam yang terbentuk menurut kelompok-kelompok sosial yang ada.

1.2.            Masalah
1.      Bagaimanakah cara penamaan dalam metode penelitian sosiolinguistik?
2.      Bagaimana pemakaian bahasa sosiolinguistik?

1.3.            Tujuan
Dalam suatu penelitian sosiolinguistik yang paling penting diingat ialah bahwa setiap kata kelompok sosial yang dijadikan variable indepeden harus terwakili didalam sampel yang dijadikan sumber data.Dengan demikian,jika kategori variable penelitiannya adalah perempuan dan pria,usia muda dan tua,kelas sosial tokoh dan nontokoh,maka kategori ini haruslah terwakili di dalam sampel penelitian tersebut.
Pada dasarnya perihal penelitian sosiolinguistik, penerapan metode cakap dalam penelitian sosiolinguistik, termasuk penelitian pemakaian bahasa, serupa dengan penerapan metode survey. Keduanya menggunakana sejumlah pertanyaan yang dapat memancing munculnya informasi yang di perlukan.

BAB II
PENELITIAN SOSIOLINGUISTIK

2.1.Perihal Penelitian Sosiolinguistik (Pemakaian Bahasa )
  Bidang linguistik yang disebut bidang studi pemakaian bahasa merupakan bagian terbesar dari pembahasan dalam bidang antar disiplin yang disebut sosiolinguistik. Dengan kata lain, bidang linguistik berhubungan dengan pemakaian bahasa yang merupakan salah satu bagian dari bidang studi sosio-linguistik.
Dengan demikian, penelitian pemakaian bahasa masuk ke dalam penelitian sosiolinguistik, terutama  jika dibicarakan adalah pemakaian bahasa menurut konteks social penggunanya. Dalam hal itu, sosiolinguistik itu sendiri merupakan bidang harapan antardua disiplin ilmu. Yaitu linguistik yang berkutat dengan masalah kebahasaan di satu sisi, dengan disiplin sosiologi yang menaruh perhatian pada masalah social/masyarakat di sisi yang lain.
Pada pemulaan dasawarsa1960-an banyak muncul kajian yang mencoba mengaitkan masalah kebahasaan dengan masyarakat.kajian ini merupakan bentuk lain dari kejadian bahasa yang sebelumnya hanya berkutat mempersoalkan masalah kebahasaan sebagai suatu system, yang lepas dari konteks sosialnya (instrnalnya ).
Hal inilah yang menyebabkan  lahirnya dua istilah, yaitu sosiolinguistik untuk bidang yang titik tekannnya pada masalah kebahasaan, dan sosioligi bahasa untuk bidang kajian yang titik tekannya pada masalah social ( kemasyarakatan ). Dalam pada itu, sosiolinguistik lalu dipandang sebagai subdisiplin dari studi linguistik, sedangkan sosiologi bahasa yang dipandang sebagai subdisiplin dari sosiologi.
Untuk itu perbedaan antara subidang sosiolinguistik dengan sosiologi bahasa dipandang tidaklah terlalu urgen. Dengan demikian, sosiolinguistik didefenisikan sebagai subidang intrsipliner bahasa dengan sosiologi yang mengkaji fenomena kebahasaan dalam kaitannya dengan factor sosial, termasuk kelas sosial, jenis kelamin, usia, dan etnisitas atau dalam waktu yang bersamaan mengkaji fonemena social dengan menggunakan penjelasan atas dasar evidensi kebahasaan.
Sosiolinguistik dikelompokan pada dua subbidang, yaitu mikrososiolnguistik dan makrososiolnguistik. Apabila yang pertama mengacu pada kajian bahasa pada komunikasi antarpersonal, yang kedua mengacu  pada tingkat yang lebih tinggi dari pada tingkat komunitas.
Subbidang kajian sosiolinguistik, maka yang menjadi lahan kajian pemakain bahasa berhubungan dengan upaya membedakan ragam-ragam atau varietas-varietas bahasa, yang oleh Haliday(1978) dibedakan atas varietas bahasa berdasarkan pemakainya. Berdasarkan pemakaiannya, Haliday membedakan varietas bahasa atas tiga subdemensi, yaitu subdemensi bidang (field ), yaitu subdimensi yang berhubungan dengan apa bahasa itu dipakai, subdemensi cara ( mode ), yaitu subdimensi yang berhubungan dengan medium apa yang akan digunakan pada peristiwa berbahasa tersebut, dalam hal ini dapat lisan atay tulisan. Dan subdimensi tenor, yaitu subdimensi yang mengacu pada hubungan peran para pertisipan yang terlibat dalam peristiwa berbahasa.
Berdasarkan pada perpaduan dari tiga subdimensi diatas, terbentuklah apa yang disebut laras bahasa( register ), yaitu ragam atau varietas bahasa yang dibeda-bedakan menurut bidang wacana (pokok pembicaraannya). Menurut modiumnya (tulis dan lisan), dan menurut tenornya ( gaya resmi atau santai dan lainnya ). Apa yang dipaparkan diatas merupakan pandangan konseptual tentang pemakaian bahasa secara sempit. Namun secara luas, pemakaian bahasa dapat dimaknai sebagai penggunaan bahasa disamping menurut dimensi situasi diatas juga mencakup dimensi menurut siapa menggunakan bahasa itu.
Ihwal siapa yang menggunakan bahasa itu,tentulah masyarakat tuturnya,yang dalam hal ini masyarakat itu sendiri tidaklah pernah bersifat homogen, ia selalu hadir dalam bentuk heteroginitas. Artinya dalam masyarakat tutur itu akan terpolarisasi atas kelompok-kelompok social yang masing-masing  memliki kesamaan fitur. Oleh karena itu, sosiolinguistik memandang bahwa sesuatu bahasa tidak pernah homogen, ia akan selalu terdiri atas ragam-ragam yang terbentuk menurut kelompoik-kelompok sosial yang ada.
  1. Penarikan sample penelitian sosiolinguistik
Dalam penelitian bahasa sampel yang besar tidak diperlukan,karena perilaku linguistik cenderung lebih homogeny dibandingkan dengan perilaku-perilaku yang lain (periksa sankoff dalam Milroy,1987). Ashen (1978) menyebutkan bahwa penelitian-penelitian sosiolinguistik yang hasilnya telah diterbitkan ternyata menggunakan sampel dalam jumlah yang tidak besar. Namun yang paling penting di ingat ialah bahwa setiap kategori kelompok sosial yang di jadikan sumber data. Dengan demikian, jika kategori variable penelitiannya adalah perempuan dan pria, usia muda dan tua, kelas sosial tokoh dan nontokoh,maka kategori ini haruslah terwakili di dalam sampel penelitian.

  1. Penentuan Kelas Sosial
Selanjutnya, yang perlu dikemukakan sehubungan dengan penarikan sampel adalah pengkategorikan kelompok sosial yang akan dijadikan kategori penentuan sampel penelitian.Hal ini penting karena masyarakat tutur yang akan menjadi sasaran penelitian bukanlah sesuatu yang homogenya, tetapi bersifat heterogen, yang secara bersama-sama membentuk masyarakat tutur tersebut. Untuk itu,penentuan kelompok/strata sosial yang akan menjadi sumber data perlu dilakukan sacara cermat.
           
2.1.2.      Metode Penyediaan Data
Metode yang dapat digunakan dalam tahap penyediaan data untuk penelitian sosiolinguistik, sebenarnya dapat memanfaatkan jenis-jenis metode yang digunakan dalam penelitian sosial. Namun, pada prinsipnya, setidak-tidaknya ada tiga metode yang dapat digunakan,yaitu:

1.      Metode Simak (Pengamatan/Observasi)
            Metode simak merupakan metode yang digunakan  dalam penyediaan data dengan cara penelitian melakukan penyimakan penggunaan bahasa.Dalam ilmu sosial,metode ini dapat disejajarkan dengan metode pengamatan/observasi.
Metode ini memiliki teknik dasar yaitu teknik sadap. Dikatakan demikian karena dalam praktik penelitian sesungguhnya penyimakan itu dilakukan dengan menyadap pemakaian bahasa dari informan. Sebagai teknik dasar, maka ia memiliki teknik lanjutan, yaitu teknik simak bebas libat cakap dan teknik simak libat cakap, catat, dan rekam.
            Metode simak dengan teknik simak bebas libat cakap (SBLC) dimaksudnya si peneliti menyadap perilaku berbahasa di dalam suatu peristiwa tutur dengan  tanpa keterlibatannya dalam peristiwa tutur tersebut. Jadi, penelitian hanya sebagai pengamat.teknik ini digunakan dengan dasar pemikiran bahwa perilaku berbahasa hanya dapat benar-benar dipahami jika peristiwa berbahasa itu berlangsung dalam situasi yang sebenarnya yang berada dalam konteks yang lengkap.
2. Metode Survei
            Metode survei adalah metode penyediaan data yang dilakukan melalui penyebaran kuesioner atau daftar tanyaan yang terstruktur dan rinci untuk memperoleh informasi dari sejumlah besar informasi yang dipandang representative mewakili populasi penelitian. Survei dapat bersifat deskriptif dan eksplanatorer. Apabila yang pertama dimaksudkan untuk memberikan populasi yang sedang dikaji,  maka yang kedua lebih bersifat lanjutan, yaitu bermaksud menjelaskan hubungan-hubungan yang ada yang telah dijumpai di dalam survei deskritif. Dengan demikian, kedua jenis survei ini pada dasarnya adalah satu kesatuan, karena sebuah kajian yang komprehensif tidak hanya bersifat penggambaran tentang populasi yang diteliti, tetapi harus pula dapat menjelaskan mengapa kondisi populasi itu sedemikian adanya. Dengan kata lain, Deskripsi yang baik haruslah berisi penjelasan-penjelasan yang memadai, dan dalam pada itu penjelasan yang memadai hanya dimungkinkan dilakukan jika tersedia deskripsi yang memadai pula.

3. Metode Cakap (Wawancara)
            Metode Cakap dalam penelitian ilmu sosial dikenal dengan nama metode wawancara atau interview merupakan salah satu metode yang digunakan dalam tahap penyediaan data yang dilakukan dengan cara penelitian melakukan percakapan atau kontak dengan penutur selaku narasumber. Dalam praktik penelitian sesungguhnya bahwa untuk mendapatkan data si peneliti harus secara sungguh memanfaatkan segala potensi yang ada pada dirinya untuk memancing informasi agar mau berbicara.
            Pada dasarnya penerapan metode cakap dalam penelitian sosiolinguistik, termasuk penelitian pemakaian bahasa, serupa dengan penerapan metode survei. Keduanya menggunakan sejumlah pertanyaan yang dapat memacing munculnya informasi yang diperlukan. Selain kedua teknik lanjutan diatas, metode cakap ini juga memiliki dua lagi teknik lanjutan yaitu teknik catat dan teknik rekam.seperti halnya pada penerapan metode simak, kedua teknik lanjutan ini juga dapat digunakan secara bersamaan dengan penerapan salah satu dari dua teknik cakap sebelumnya: teknik cakap semuka atau teknik cakap tansemuka.

2.1.3        Metode Analisis Data
Analisis data merupakan upaya yang dilakukan untuk mengklasifikasi, mengelompokkan data. Pada tahap ini dilakukan upaya mengelompokkan, menyamakan data yang sama dan membedakan data yang memang berbeda, serta menyisihkan pada kelompok lain data yang serupa, tetapi tak sama. Dalam rangka pengklasifikasian dan pengelompokan data tentu harus didasarkan pada apa yang menjadi tujuan penelitian.
            Tujuan penelitian itu sendiri adalah memecahkan masalah yang memang menjadi fokus penelitian.jika dalam penelitian itu terdapat hipotesis, jawaban tentative terhadap masalah penelitian yang memerlukan pembuktian, maka sesungguhnya masalah, Hipotesis, dan tujuan penelitian merupakan suatu kesatuan yang membimbing ke arah mana analisis data (termasuk penyediaan data) itu dilakukan. Oleh karena itu, ingatan peneliti terhadap ketiga hal itu dalam rangka analisis data haruslah benar-benar terfokus. Dengan dasar itulah pengelompokan, pengklasifikasian data dapat dilakukan.

a.       Analisis Kualitatif
            Penelitian kualitatif  kegiatan penyediaan data merupakan kegiatan yang berlangsung secara simultan dengan kegiatan analisis data. Prosesnya berbentuk siklus, bukan linear. Hal ini tentu tidak lepas pula dari hakikat penelitian kualitatif yang bertujuan untuk memahami fenomena sosial termasuk fenomena kebahasaan yang tengah diteliti,,yang berbeda dengan hakikat penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena yang sedang dikaji. Istilah memahami dan menjelaskan merupakan dua istilah yang penekanannya berbeda. Jika dalm istilah memahami mengandung arti sebagai upaya menelusuri alasan-alasan mengetahui suatu fonemena yang diteliti dengan berangkat dari pemahaman para pelakunya sendiri, sedangkan dalm istilah menjelaskan mengandung arti upaya menjelaskan faktor penyebab atau kualitas suatu fenomena yang dikaji oleh peneliti.
b.      Analisis Kuantitatif
            Seperti disebutkan diatas, bahwa data kebahasaan merupakan salah satu data yang hadir dalam bentuk data kualitatif. Data ini bukan berarti tidak dapat dianalisis secara kuantitatif. Ia dapat dianalisis secara kuantitatif dengan terlebih dahulu mengubah menjadi data dalam bentuk angka. Hal inilah yang akan menjadi focus pembicaraan dalam bagian ini, yaitu bagaimana langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam mengubah data kebahasaan yang berupa data kualitatif itu menjadi data kuantitatif yang siap dianalisis secara statistika.

2.1.4. Metode Penyajian Hasil Analisis Data
            Hasil analisis data yang berupa temuan penelitian sebagai jawaban atas masalah yang hendak dipecahkan, haruslah disajikan dalam bentuk teori.Dalam menyajikan hasil temuan penelitian di atas,terdapat dua metode. Kedua metode ini adalah metode formal dan informal. karena pada prinsipnya,penyajian hasil analisis baik itu untuk tujuan kajian linguistik sinkronis, linguistik diakronis, maupun sosiolinguistik adalah sama.

Hasil analisis dapat disajikan secara metabahasa atau menurut sistem tanda. Secara metabahasa artinya analisis bahasa dinyatakan dengan bahasa. Metode semacam ini bisa disebut metode metabahasa saja. Dalam literatur lain metode serupa disebut metode informal (Sudaryanto, 1993). Sementara itu, menurut sistem tanda, hasil analisis bahasa direproduksi dalam berbagai bentuk nonbahasa, seperti simbol, ikon, indeks, atau sistem tanda lain yang diwujudkan dalam bentuk tabel, grafik, bagan, skema, dan gambar. Karena sangat erat kaitannya dengan sistem tanda ini, agaknya metode ini dapat diperkenalkan sebagai metode semiotik. Dalam pengertian yang serupa, Sudaryanto (1993) menyebutnya sebagai metode formal.
           
Untuk penyajian hasil analisis dengan metode metabahasa, peneliti perlu mempertimbangkan beberapa faktor seperti tata urut penyajian, dan cara merumuskan kaidah. Tata urut penyajian yang dijadikan pedoman mengikuti hirarki sebagai berikut: (1) dari tataran yang rendah ke tataran yang tinggi, atau sebaliknya, (2) dari tataran yang sederhana ke tataran yang lebih rumit, (3) dari yang pasti ke yang mungkin, dan (4) dari yang dasar ke bentuk turunan. Sementara itu, cara merumuskan kaidah seringkali akan mengikuti logika-logika bahasa atau silogisme, misalnya (1) (a). proposisi adalah k; (b) proposisi selalu k; (c) Semua proposisi adalah k, (2) proposisi1’ adalah  k1’, sedangkan proposisi2” adalah k2”, (3) jika proposisi1  adalah k1 , maka proposisi2  adalah k2, (4) gabungan-gabungan di antara ketiganya.

Untuk penyajian hasil analisis dengan metode semiotik, peneliti perlu memperhatikan logika dan seni visualisasi sistem tanda. Besar-kecil, tinggi-rendah, panjang-pendek, arsiran-tidak arsiran sebuah sistem tanda yang disajikan dalam tabel dan seterusnya tersebut dapat menaksir logika dan seni visualisasinya. Namun demikian, isi hasil analisis verbal dipandang lebih akuntabel dari pada indahnya visualisasi sistem tanda.

BAB III
3.1 Kesimpulan
            Sebagaimana dikemukakan di awal, objek kajian bisa diteliti berdasarkan tiga langkah-langkah yang penting, yaitu langkah penyediaan data, langkah analisis data, dan langkah penyajian hasil analisis. Ada prinsip yang wajib diingat dalam konteks penelitian sosiolinguistik, yaitu bahwa aspek luar bahasa sangat signifikan menjelaskan atau dijelaskan oleh bahasa itu sendiri. Artinya, konsep dasar kajian sosiolinguistik adalah konsep korelasi. Yang dilakukan peneliti di bidang ini adalah mengkorelasikan bahasa dengan aspek sosial (baca sosial budaya masyarakat).  Memang, ada persoalan penamaan dalam metode penelitian sosiolinguistik, walaupun para penelitinya merasa bahwa penamaan bukan masalah yang  urgen untuk membuat keputusan meneruskan atau menghentikan penelitian sosiolinguistik itu karena tanpa penamaan terhadap jenis-jenis metode itu pun, mereka telah dapat mengamati dan menjelaskan isu-isu dalam kajian sosiolinguistik.

                                                DAFTAR PUSTAKA


Mashun. 2011. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta:Raja Grafindo Persada.

Wardhaugh,Ronald.1986.An introduction to Sociolinguistics.Oxford:Basil Blackwell

Model Pengajaran Langsung


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pengajaran identik dengan pendidikan. Proses pengajaran adalah proses pendidikan. Setiap kegiatan pengajaran adalah untuk mencapai tujuan pendidikan. Pengajaran adalah suatu proses aktivitas mengajar dan belajar, di dalamnya terdapat dua subjek yang saling terlibat, yaitu guru dan peserta didik. Banyak ditemukan tafsiran tentang pengajaran. Pada kenyataannya, pandangan tentang istilah pengajaran terus menerus berkembang dan mengalami kemajuan. Model pembelajaran yang menggunakan pendekatan mengajar yang dapat membantu siswa mempelajari keterampilan dasar dan memperoleh pengetahuan langkah demi langkah adalah model pengajaran langsung (direct intruction).
Salah satu karakteristik dari suatu model pembelajaran adalah adanya sintaks/tahapan pembelajaran. Selain harus memperhatikan sintaks, guru yang akan menggunakan pengajaran langsung juga harus memperhatikan variabel-variabel lingkungan lain, yaitu fokus akademik, arahan dan kontrol guru, harapan yang tinggi untuk kemajuan siswa, waktu dan dampak dari pembelajaran.

1.2  Rumusan masalah
1.      Bagaimanakah model pengajaran langsung (Direct Instruction)?
2.      Apa saja karakteristik model pengajaran langsung (Direct Instruction)?
3.      Apa saja kelebihan dan kelemahan model pengajaran langsung (Direct Instruction)?
1.3  Tujuan
1.      Untuk  mengetahui dan memahami model pengjaran langsung (Direct Instruction).
2.      Untuk  mengetahui dan memahami kelebihan dan kelemahan model pengajaran langsung (Direct Instruction).



BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Model Pengajaran Langsung (Direct Instruction)
a.      Pengertian
Model pembelajaran yang menggunakan pendekatan mengajar yang dapat membantu siswa mempelajari keterampilan dasar dan memperoleh pengetahuan langkah demi langkah adalah model pengajaran langsung (direct intruction). Menurut Arend, Sebuah model pengajaran yang bertujuan untuk membantu siswa mempelajari keterampilan dasar dan pengetahuan yang dapat diajarkan langkah-demi-langkah. Untuk tujuan tersebut, model yang digunakan dinamakan model pengajaran langsung.
Model pengajaran langsung (direct instruction) dilandasi oleh teori belajar perilaku yang berpandangan bahwa belajar bergantung pada pengalaman termasuk pemberian umpan balik. Satu penerapan teori perilaku dalam belajar adalah pemberian penguatan. Umpan balik kepada siswa dalam pembelajaran merupakan penguatan yang merupakan penerapan teori perilaku tersebut.
Arends (1997) menyatakan model pengajaran langsung secara khusus dirancang untuk mempromosikan belajar siswa dengan pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif yang terstruktur dengan baik dan dapat diajarkan secara langkah-demi-langkah. Lebih lanjut Arends (2001) menyatakan pengajaran langsung adalah model berpusat pada guru yang memiliki lima langkah: menetapkan tujuan, penjelasan dan/atau demonstrasi, panduan praktek, umpan balik, dan perluasan praktek. Pelajaran dalam pengajaran langsung memerlukan perencanaan yang hati-hati oleh guru dan lingkungan belajar yang menyenangkan dan berorientasi tugas.
Model pengajaran langsung memberikan kesempatan siswa belajar dengan mengamati secara selektif, mengingat dan menirukan apa yang dimodelkan gurunya. Oleh karena itu hal penting yang harus diperhatikan dalam menerapkan model pengajaran langsung adalah menghindari menyampaikan pengetahuan yang terlalu kompleks. Di samping itu, model pengajaran langsung mengutamakan pendekatan deklaratif dengan titik berat pada proses belajar konsep dan keterampilan motorik, sehingga menciptakan suasana pembelajaran yang lebih terstruktur.
Guru yang menggunakan model pengajaran langsung tersebut bertanggung jawab dalam mengidentifikasi tujuan pembelajaran,   struktur materi, dan keterampilan dasar yang akan diajarkan. Kemudian menyampaikan pengetahuan kepada siswa, memberikan pemodelan/demonstrasi, memberikan kesempatan pada siswa untuk berlatih menerapkan konsep/keterampilan yang telah dipelajari, dan memberikan umpan balik.

b.      Karakteristik
Salah satu karakteristik dari suatu model pembelajaran adalah adanya sintaks/tahapan pembelajaran. Selain harus memperhatikan sintaks, guru yang akan menggunakan pengajaran langsung juga harus memperhatikan variabel-variabel lingkungan lain, yaitu fokus akademik, arahan dan kontrol guru, harapan yang tinggi untuk kemajuan siswa, waktu dan dampak dari pembelajaran.
Fokus akademik merupakan prioritas pemilihan tugas-tugas yang harus dilakukan siswa selama pembelajaran, aktivitas akademik harus ditekankan. Pengarahan dan kontrol guru terjadi ketika memilih tugas-tugas siswa dan melaksanakan pembelajaran, menentukan kelompok, berperan sebagai sumber belajar selama pembelajaran dan meminimalkan kegiatan non akademik. Kegiatan pembelajaran diarahkan pada pencapaian tujuan sehingga guru memiliki harapan yang tinggi terhadap tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh siswa.
Sintaks model pengajaran langsung memiliki 5 tahapan, sebagai berikut:
Ø  Fase 1 : Fase Orientas
Ø  Fase 2 : Fase Presentasi/Demonstrasi
Ø  Fase 3 : Fase Latihan Terstruktur
Ø  Fase 4 : Fase Latihan Terbimbing
Ø  Fase 5 : Fase Latihan Mandiri

c.       Kelebihan, Kelemahan, Ciri Ciri Dan Model Penilaian Pengajaran Langsung

Secara umum setiap model pembelajaran mempunyai kelebihan-kelebihan yang membuat model pembelajaran tersebut lebih baik digunakan dibanding dengan model pembelajaran yang lainnya. Tetapi selain mempunyai kelebihan-kelebihan pada setiap model pembelajaran juga ditemukan keterbatasan-keterbatasan yang merupakan kelemahannya.
1.      Model pengajaran langsung mempunyai beberapa kelebihan sebagai berikut:
a)      Dalam model pengajaran langsung, guru mengendalikan isi materi dan urutan informasi yang diterima oleh siswa sehingga dapat mempertahankan fokus mengenai apa yang harus dicapai oleh siswa.
b)      Merupakan cara yang paling efektif untuk mengajarkan konsep dan keterampilan-keterampilan kepada siswa yang berprestasi rendah sekalipun.
c)      Model ini dapat digunakan untuk membangun model pembelajaran dalam bidang studi tertentu. Guru dapat menunjukan bagaimana suatu permasalahan dapat didekati, bagaimana informasi dianalisis, bagaimana suatu pengetahuan dihasilkan.
d)     Model pengajaran langsung menekankan kegiatan mendengarkan (melalui ceramah) dan kegiatan mengamati (melalui demonstrasi), sehingga membantu siswa yang cocok belajar dengan cara-cara ini.
e)      Model pengajaran langsung dapat memberikan tantangan untuk mempertimbangkan kesenjangan antara teori dan fakta.
f)       Model pengajaran langsung dapat diterapkan secara efektif dalam kelas besar maupun kelas yang kecil.
g)      Siswa dapat mengetahui tujuan-tujuan pembelajaran dengan jelas.
h)      Waktu untuk berbagi kegiatan pembelajaran dapat dikontrol dengan ketat.
i)        Dalam model ini terdapat penekanan pada pencapaian akademik.
j)        Kinerja siswa dapat dipantau secara cermat.
k)      Umpan balik bagi siswa berorientasi akademik.
l)        Model pengajaran langsung dapat digunakan untuk menekankan butir-butir penting atau kesulitan-kesulitan yang mungkin dihadapi siswa.
m)    Model pengajaran langsung dapat menjadi cara yang efektif untuk mengajarkan informasi dan pengetahuan faktual dan terstruktur.
2.      Model pengajaran langsung mempunyai beberapa kelemahan sebagai berikut:
a)      Karena dalam model ini berpusat pada guru, maka kesuksesan pembelajaran bergantung pada guru. Jika guru kurang dalam persiapan, pengetahuan, kepercayaan diri, antusiasme maka siswa dapat menjadi bosan, teralihkan perhatiannya, dan pembelajaran akan terhambat.
b)      Model pengajaran langsung sangat bergantung pada cara komunikasi guru. Jika guru tidak dapat berkomunikasi dengan baik maka akan menjadikan pembelajaran menjadi kurang baik pula.
c)      Jika materi yang disampaikan bersifat kompleks, rinci atau abstrak, model pembelajaran langsung tidak dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk cukup memproses dan memahami informasi yang disampaikan.
d)     Jika terlalu sering menggunakan modelpengajaran langsung akan membuat beranggapan bahwa guru akan memberitahu siswa semua informasi yang perlu diketahui. Hal ini akan menghilangkan rasa tanggung jawab mengenai pembelajan siswa itu sendiri.
e)      Demonstrasi sangat bergantung pada keterampilan pengamatan siswa. Kenyataannya, banyak siswa bukanlah pengamat yang baik sehingga sering melewatkan hal-hal penting yang seharusnya diketahui.
3.      Ciri-ciri Pengajaran Langsung :
1.      Adanya tujuan pembelajaran dan prosedur penilaian hasil belajar.
2.      Sintaks atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran.
3.      Sistem pengelolaan dan lingkungan belajar yang mendukung berlangsung dan berhasilnya pengajaran
4. Penilaian Pada Model Pengajaran Langsung
5 prinsip dasar dalam merancang system penilaian :
a)      sesuai dengan tujuan pengajaran
b)      mencakup semua tugas pengajaran
c)      menggunakan soal tes yang sesuai
d)     buatlah soal yang valid dan sereliabel  mungkin
e)      manfaatkan hasil tes untuk memperbaiki proses belajar mengajar berikutnya.

d.      Lingkungan Belajar dan Sistem Pengelolaan Model Pengajaran Langsung
Pengajaran langsung memerlukan perencanaan dan pelaksanaan yang sangat hati-hati di pihak guru agar efektif, pengajaran langsung mensyaratkan tiap detail keterampilan atau isi didefinisikan secara seksama dan demonstrasi serta jadwal pelatihan direncanakan dan dilaksanakan secara seksama (Kardi dan Nur, 2000: 8).
Menurut Kardi dan Nur (2000: 8-9), meskipun tujuan pembelajaran dapat direncanakan bersama oleh guru dan siswa, model ini terutama berpusat pada guru. Sistem pengelolaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru harus menjamin terjadinya keterlibatan siswa terutama melalui memperhatikan, mendengarkan, dan resitasi (tanya jawab) yang terencana. Ini tidak berarti bahwa pembelajaran bersifat otoriter, dingin dan tanpa humor. Ini berarti bahwa lingkungan berorientasi pada tugas dan memberi harapan tinggi agar siswa mencapai hasil belajar dengan baik.
e.       Strategi Pengajaran Langsung
Keterampilan, baik kognitif maupun fisik, dan juga informasi yang lain, merupakan landasan untuk pembangunan hasil belajar yang lebih kompleks. Sebelum siswa dapat memperoleh dan memproses sejumlah besar informasi, mereka harus menguasai strategi belajar seperti membuat catatan, merangkum isi bacaan. Sebelum siswa dapat berpikir secara kritis, mereka perlu menguasai keterampilan dasar yang berkaitan dengan logika, membuat infrensi dari data, dan mengenal ketidakobjektifan dari presentasi. Sebelum siswa dapat menulis suatu paragraf mereka harus menguasai pengkonstruksian kalimat dasar, penggunaan kata-kata dengan benar, dan disiplin diri dalam tugas penulisan.
Salah satu perbedaan yang mencolok antara orang yang baru mempelajari sesuatu atau pemula dengan pakar ialah bahwa para pakar telah benar-benar menguasai keterampilan-keterampilan dasar, sehingga mereka dapat menerapkannya dengan presisi dan tanpa difikirkan lagi, walau dalam situasi baru dan penuh tekanan atau beban.
Pembahasan materi tentang metode pengajaran langsung menfokuskan pada pendekatan mengajar yang dapat membantu siswa mempelajari keterampilan dasar dan memperoleh informasi yang dapat diajarkan selangkah demi selangkah. Pendekatan mengajar ini desebut Model Pengajaran Langsung (MPL). Istilah lain yang juga dipergunakan ialah Pengajaran Aktif (Good & Grows, 1985), Mastery Teaching (Hunter, 1982), dan Explicit Instruction (Rosenshine &Stevens, 1986). Meskipun tidak sinonim, kuliah/ceramah, dan resitasi berhubungan erat dengan model pengajaran langsung itu.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Model pembelajaran yang menggunakan pendekatan mengajar yang dapat membantu siswa mempelajari keterampilan dasar dan memperoleh pengetahuan langkah demi langkah adalah model pengajaran langsung (direct intruction). Menurut Arend, Sebuah model pengajaran yang bertujuan untuk membantu siswa mempelajari keterampilan dasar dan pengetahuan yang dapat diajarkan langkah-demi-langkah.
Salah satu karakteristik dari suatu model pembelajaran adalah adanya sintaks/tahapan pembelajaran. Selain harus memperhatikan sintaks, guru yang akan menggunakan pengajaran langsung juga harus memperhatikan variabel-variabel lingkungan lain, yaitu fokus akademik, arahan dan kontrol guru, harapan yang tinggi untuk kemajuan siswa, waktu dan dampak dari pembelajaran.Fokus akademik merupakan prioritas pemilihan tugas-tugas yang harus dilakukan siswa selama pembelajaran, aktivitas akademik harus ditekankan.
Sintaks model pengajaran langsung memiliki 5 tahapan, sebagai berikut:
Ø  Fase 1 : Fase Orientas
Ø  Fase 2 : Fase Presentasi/Demonstrasi
Ø  Fase 3 : Fase Latihan Terstruktur
Ø  Fase 4 : Fase Latihan Terbimbing
Ø  Fase 5 : Fase Latihan Mandiri
prinsip dasar dalam merancang system penilaian :
1.      sesuai dengan tujuan pengajaran
2.      mencakup semua tugas pengajaran
3.      menggunakan soal tes yang sesuai
4.      buatlah soal yang valid dan sereliabel  mungkin
5.      manfaatkan hasil tes untuk memperbaiki proses belajar mengajar berikutnya.


Selasa, 19 Juni 2012

Pengajaran Bahasa Kedua


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmatnya, inayah, dan hidayah-Nyapenulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Selanjutnya shalawat dan salam tiada henti selalu tercurah kepada junjungan nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat dan pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Kami sebagai penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian pembuatan makalah tidak terlepas dari kesalahan. Oleh karna itu, penulis mengharapkan kepada pembaca untuk dapat menyumbangkan kritik dan sarannya  demi kesempurnaan makalah ini.
Mudah-mudahan dengan makalah ini dapat membantu kita sebagai mahasiswa khususnya Program Studi bahasa dan sastra indonesia (kelas VI D) agar lebih memahami kajian bahasa di dalam  Sosiolinguistik.



Palembang,   Mei 2012


Penulis


DAFTAR ISI
Kata pengantar           …………………………………………i                      
Daftar isi                     ……………………………………..     ii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………..     1
1.1              latar belakang …..........................................     1
1.2              Masalah………………………………………     1
1.3              Tujuan…………………………………………     1
BAB II PEMBAHASAN ……………………………………..      2         
            2.1       Pengajaran bahasa ke dua……………………….. 2
            2.2       Pragmatik dan pengajaran bahasa ……………….   6
BAB III PENUTUP ……………………………………………
            3.1       Kesimpulan………………………………………   7
DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN
1.1.            Latar Belakang
Sebagai alat komunikasi dan alat interaksi yang hanya dimiliki manusia, bahasa dapat dikaji secara internal maupun secara eksternal. Sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistic yang bersifat interdispliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dan faktor-faktor social didalam  satu masyrakat tutur. Didalam bahasa kedua. Pengajaran bahasa kedua secara formal dimulai ketika anak memasuki pendidikan dasar (kira-kira usia 6 tahun) untuk bahasa nasional, dan ketika anak memasuki pendidikan menengah (kira-kira berusian 13 tahun) untuk bahasa asing (dalam hal ini bahasa inggris). Menurut Pei (1971) anak-anak pada usia 5 tahun telah dapat menguasai pola bahasa pertamanya, dengan demikian ketika anak Indonesia (yang bahasa pertamanya bahasa daerah) mulai mempelajari bahasa Indonesia. Secara sosiolinguistik ‘’materi’’ yang ada didalam konsep pragmatic memang sudah seharusnya diajarkan kepada murid-murid agar mereka dapat menggunakn bahasa sesuai dengan yang menjadi interlekutornya (lawan bicara), topic pembicaraan, situasi, dan tempat pembicaraan, tujuan pembicaraan dan sarana yang digunakan. Pembedaan ragam baku dan nonbaku adalah berdasarkan penggunaannya.
1.2       Masalah
            1. Bagaimana pengajaran bahasa kedua?
2. Bagaimana hubungan pragmatik dengan pengajaran bahasa?

1.3          Tujuan
Agar Mahasiswa dapat memahami tentang keterampilan berbahasa khususnya tentang bahasa kedua bagi anak-anak, bagaimana berbicara yang baik, dan sopan untuk menunjang komunikasi dalam setiap berbicara.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Pengajaran  Bahasa Kedua
            Dalam masyarakat multilingual tentu akan ada pengajaran bahasa kedua (dan mungkin juga ketiga).  Bahkan kedau ini bisa bahasa nasional, bahasa resmi kenegaraan, bahasa resmi kedaerahan, atau juga bahasa asing (bukan bahasa asli penduduk pribumi). Pengajaran bahasa kedua tentu akan menimbulkan masalah-masalah sosiolinguistik.
Pengajaran bahasa kedua secara formal dimulai ketika anak memasuki pendidikan dasar (kira-kira usia 6 tahun) untuk bahasa nasional, dan ketika anak memasuki pendidikan menengah (kira-kira berusian 13 tahun) untuk bahasa asing (dalam hal ini bahasa inggris). Menurut Pei (1971) anak-anak pada usia 5 tahun telah dapat menguasai pola bahasa pertamanya, dengan demikian ketika anak Indonesia (yang bahasa pertamanya bahasa daerah) mulai mempelajari bahasa Indonesia. Pola-pola dan unsur bahasa pertamanya, yang selama ini yang selalu digunakan diluar rumah, akan terbawa masuk ketika mereka berbahasa Indonesia, sebagai sosioliuistik yang disebut interferensi.
Para penganjur pendekatan linguistic kontrastif berpendirian bahwa penguasaan suatu bahasa tidak lain dari pembentukan kebiasaan-kebiasaan (Darjowidjojo 1974, 1978). Oleh karna itu, untuk dapat menguasai bahasa kedua jalan yang paling tepat adalah latihan terus-menerus, tanpa henti, sehingga pada suatu saat akan membentuk kebiasaan-kebiasaan seperti yang telah terjadiketika mempelajari bahasa pertama. Memang jarang ada orang dapat menguasai bahasa kedua sama persis dengan persoalan penguasaan terhadap bahasa pertama. Namun, karena  bahasa Indonesiaadalah bahasa nasional dan bahasa resmi Negara, maka penguasaan  yang optimal perlu diusahakan.                 


A.     Starategi Belajar Bahasa Kedua
Dalam kaitanya dengan proses belajar bahasa kedua perlu diperhatikan beberapa strategi yang dapat diterapkan, ada sepuluh strategi dalam proses belajar bahasa yaitu:
1.      Strategi perencanaan dan belajar positif
2.      Strategi aktif
3.      Strategi empatik
4.      Strategi formal
5.      Strategi eksperimental
6.      Strategi semantic
7.      Strategi praktis
8.      Strategi komunikasi
9.      Strategi monitor
10.  Strategi internalisasi

B.      Prinsip dan Metode Pengajar Bahasa Kedua

1.      Belajar bahasa kedua (B2)adalah belajar dalam konteks pemakaian bahasa yang sebenarnya
2.      Belajar bahasa kedua (B2) adalah belajar menggunakan Bahasa kedua (B2) tersebut dalam berbagai fungsinya
3.      Siswa harus dilatih menggunkan bahasa secara tepat
4.      Pengajaran bahasa perlu memperhatikan kebutuhan efektif dan konektif pelajaran
5.      Pemahaman budaya bahasa kedua perluh ditumbuhkan dalam pengajaran bahasa ke dua
6.      Metode tata bahasa terjemahan tidak membuat siswa terampil menggunakan bahasa, tetapi tahu tentang bahasa
7.      Metode langsung diterapkan melalui kegiatan dialog, tubian pola, dan penerapan
8.      Tujuan pengajaran bahasa komunikatif adalah, agar siswa dapat berkomunikasi dalam permainan bahasa yang sebenarnya dalam bentuk bahasa yang diterima.
9.      Pengajaran dengan respons fisik totalmenekankan penguasaankemampuan menyimak pada awal pelajaran.
2.2       Pragmatik dan Pengajaran Bahasa  
            Kurikulum 1984 memasukan pragmatiksebagai salah satu pokok bahasan ( yang lain : membaca, struktur, menulis, dan apresiasi bahasa dan sastra) yang harus diberikan dalam pengajaran bahasa. Konsep umum yang bisa ditangkap dari sekian banyak pertemuan bahwa pragmatic adalah keterampilan menggunakan bahasa menurut partisipan, topic pembicaraan, tujuan pembicaraan stuasi dan tempat berlangsungnya pembicaraan itu. Kalau pengertian itu ditangkap maka pragmatic itu bisa dikatakan identik dengan masalah pokok dalam sosiolinguistik, yaitu ‘’siapa berbicara, dengan bahasa apa, dengan siapa, kapan, dan tujuan apa’’
            Secara sosiolinguistik ‘’materi’’ yang ada didalam konsep pragmatic memang sudah seharusnya diajarkan kepada murid-murid agar mereka dapat menggunakn bahasa sesuai dengan yang menjadi interlekutornya (lawan bicara), topic pembicaraan, situasi, dan tempat pembicaraan, tujuan pembicaraan dan sarana yang digunakan.
            Pembedaan ragam baku dan nonbaku adalah berdasarkan penggunaan ragam bahasa itu untuk situasi resmi dan tidak resmi.  Penggunaan bahasa dalam rapat-rapat dinas atau surat-surat dinas adalah contoh situasi resmi; tetapi penggunaan bahasa diwarung kopi dengan topic pembicaraan yang tidak menentu adalah contoh penggunaan bahasa dalam situasi tidak resmi.
            Penggunaan ragam baku juga masih terikat dengan status social lawan bicara, dengan tempat pembicara, dan dengan konteks pembicaraan. Status social lawan bicara dapat menentukan kata sapaan yang harus digunakan lawan bicara yang lebih tua dapat disapa dengan kata-kata kakak, bapak, ibu, saudara, atau tuan. Tempat pembicaraan dapat menentukan kualitas suara yang digunakan. Berbicara diruang baca sebuah perpustakaan, didalam mesjid, ditepi jalan yang bising memerlukan kuliatas yang berbeda, yang dimaksud dengan  konteks pembicaraan bisa berkenaan dengan pokok atau topic pembicaraan, dengan tepat dan waktu pembicaraan, atau juga kelompok pendengar tertentu.

BAB III
PENUTUP
3.1       Kesimpulan
Pengajaran bahasa kedua secara formal dimulai ketika anak memasuki pendidikan dasar (kira-kira usia 6 tahun) untuk bahasa nasional, dan ketika anak memasuki pendidikan menengah (kira-kira berusian 13 tahun) untuk bahasa asing (dalam hal ini bahasa inggris). Menurut Pei (1971) anak-anak pada usia 5 tahun telah dapat menguasai pola bahasa pertamanya, dengan demikian ketika anak Indonesia (yang bahasa pertamanya bahasa daerah) mulai mempelajari bahasa Indonesia. Pola-pola dan unsur bahasa pertamanya, yang selama ini yang selalu digunakan diluar rumah, akan terbawa masuk ketika mereka berbahasa Indonesia, sebagai sosioliuistik yang disebut interferensi.
 Konsep umum yang bisa ditangkap dari sekian banyak pertemuan bahwa pragmatic adalah keterampilan menggunakan bahasa menurut partisipan, topic pembicaraan, tujuan pembicaraan stuasi dan tempat berlangsungnya pembicaraan itu. Kalau pengertian itu ditangkap maka pragmatic itu bisa dikatakan identik dengan masalah pokok dalam sosiolinguistik, yaitu ‘’siapa berbicara, dengan bahasa apa, dengan siapa, kapan, dan tujuan apa’’ .

DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.  Jakarta : PT Asdi Mahasatya.
Saidi, Achmad Sani. 2010. Pemerolehan Bahasa. Palembang: Universitas PGRI.