Selasa, 19 Juni 2012

Perencanaan Bahasa


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
Istilah perencanaan bahasa (languange planning) mula-mula digunakan oleh Haugen (1959) untuk pengertian usaha dalam membimbing perkembangan bahasa ke arah yang diinginkan oleh para perencana. Menurut Haugen selanjutnya, perencanaan bahasa itu tidak semata-mata meramalkan masa depan berdasarkan dari yang diketahui pada masa lampau, tetapi perencanaan itu merupakan usaha yang terarah untuk mempengaruhi masa depan. Sebagai contoh usaha perencanaan itu disebutkannya tata ejaan yang normatif , penyusunan tata bahasa dan kamus yang akan dapat dijadikan pedoman bagi para penutur di dalam masyarakat yang heterogen.
Dalam perkembangannya, setelah Haugen melancarkan istilah languange planning, pengertian perencanaan bahasa itu yang banyak dikemukakan para pakar memang menjadi bervariasi, baik dari segi luasnya kegiatan, pelaku yang berperan di dalamnya, maupun peristilahannya. Suatu rencana juga memerlukan dana dan fasilitas. Tanpa dana tak terlalu banyak yang dapat dibuat. Namun, perlu diingatkan tanpa dana pun masih ada yang dapat dibuat. Dana boleh saja berasal dari pemerintah, tetapi boleh juga dari perseorangan, yayasan, dan sebagainya. Hanya yang perlu dipersoalkan ialah pemanfaatan dana yang disediakan.
1.2  Rumsan Masalah
1.      Apa yang dimaksud perencanaan bahasa itu?
2.      Apa saja tujuan pengajaran bahasa?
3.      Bagaimana hambatan-hambatan pengajaran bahasa?
4.      Apa saja variable pengajaran bahasa?
1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengajaran bahasa
2.      Untuk memahami hambatan pengajaran bahasa
3.      Untuk mengetahui variabel bahasa
BAB 11
PEMBAHASAN
2.1 Perencanaan Bahasa
Melihat urutan dalam penanganan dan pengolahan masalah-masalah kebahasaan dalam negara yang multilingual, multirasial, dan multikultural, maka perencanaan bahasamerupakan kegiatan yang harus dilakukan sesudah melakukan kebijaksanaan bahasa. Tetapi sebelumnya perlu juga diketahui bahwa ada pula pakar yang memasukkan kebijaksanaan bahasa itu sebagai satu tahap dalam perencanaan bahasa (Neustupni 1970, Gorman 1973, dan Garvin 1973).
Istilah perencanaan bahasa (languange planning) mula-mula digunakan oleh Haugen (1959) untuk pengertian usaha dalam membimbing perkembangan bahasa ke arah yang diinginkan oleh para perencana. Menurut Haugen selanjutnya, perencanaan bahasa itu tidak semata-mata meramalkan masa depan berdasarkan dari yang diketahui pada masa lampau, tetapi perencanaan itu merupakan usaha yang terarah untuk mempengaruhi masa depan. Sebagai contoh usaha perencanaan itu disebutkannya tata ejaan yang normatif , penyusunan tata bahasa dan kamus yang akan dapat dijadikan pedoman bagi para penutur di dalam masyarakat yang heterogen.
Dalam perkembangannya, setelah Haugen melancarkan istilah languange planning, pengertian perencanaan bahasa itu yang banyak dikemukakan para pakar memang menjadi bervariasi, baik dari segi luasnya kegiatan, pelaku yang berperan di dalamnya, maupun peristilahannya. Jernudd dan Das Gupta (1971:211) mengatakan perencanaan bahasa adalah kegiatan politis dan administrasi untuk menyelesaikan persoalan bahasa di dalam masyarakat, Ray(1961, yang dikutip Moeliono 1983) berpendapat bahwa perencanaan bahasa terbatas pada saran atau rekomendasi yang aktif untuk mengatasi masalah pemakaian bahasa dengan cara yang paling baik. Keberhasilan perencanaan bahasa itu sangat bergantung pada jaringan komunikasi sosial yang ada dan pada mobilitas kekuatan sosial.
Di Indonesia kegiatan yang serupa dengan languange planing ini sebenarnya sudah berlangsung sebelum nama itu diperkenalkan oleh Hauguen (Moeliono 1983), yakni sejak zaman pendudukan Jepang ketika ada komisi Bahasa Indonesia sampai ketika Alisjabhana menerbitkan majalah Pembina Bahasa Indonesia tahun 1948. Malah kalau mau dilihat lebih jauh, languange planning di Indonesia sudah dimulai sejak Van Ophuijsen menyusun ejaan bahasa Melayu (Indonesia) pada tahun 1901, disusul denga berdirinya Commisie voor de Pfolkslectuur tahu 1908, yang pada tahun 1917 berubah namanya menjadi Balai Pustaka; lalu disambung dengan sumpah pemuda tahun 1928, dan kemudian konggres bahasa I tahun 1938 di kota Solo.
Istilah yang digunakan Alisjahbana adalah languange engineering, yang dianggapnya lebih tepat daripada istilah languange planning yang terlalu sempit maksudnya. Cita-cita Alisjahbana dalam languange engineering ini adalah pengembangan bahasa yang teratur di dalam konteks perubahan sosial, budaya dan teknologi yang lebih luas berdasarkan perencaan yang cermat. Menurut Alisjahbana masalah languange engineering yang penting adalah (1) pembakuan bahasa, (2) pemodeman bahasa, dan (3) penyediaan alat perlengkapan seperti buku pelajaran dan buku bacaan (Moelione 1983).
Dalam kaitan dengan penggunaan istilah languange engineering ini, Miller (!950) memasukkan dalam istilah itu kegiatan penciptaan bahasa internasional untuk komunikasi penerbangan,  pengubahan tata ejaan, pengembangan kosa kata khusus, pembakuan bahasa, dan penerjemahan. Sedangkan Springer (1956) menafsirkan languange engineering itu sebagai usaha pengaksaraan bahasa dan pembakuan bahasa yang belum baku sepenuhnya.
Di Indonesia lembaga yang terlibat dalam perencanaan dan pengembangan bahasa   di mulai dengan berdirinya Commisie voor de Volkslectuur yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1908, yang pada tahun 1979 berubah menjadi Balai Pustaka. Lembaga ini dengan majalahnya Sari Pustaka, Pandji Pustaka, dan Kedjawen dapat dianggap sebagai perencana dan pengembang bahasa. Lalu, pada tahun 1942 pemerintah pendudukan Jepang membentuk dua komisi Bahasa Indonesia, satu di Jakarta dan satu lagi di medan. Komisi ini diberi tugas untuk mengembangkan Bahasa Indonesia lewat pembentukkan istilah keilmuan, penyusunan tata bahasa baru dan penentuan kata pungutan baru (Moeliono 1983).
Setelah mengalami beberapa perubahan status keanministrasian, sejak 1 April 1975 lembaga tersebut bernama Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang bertugas sebagai pelaksana kebijakan di bidang penelitian dan pengembangan bahasa, bertanggung jawab langsung kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Hingga kini lembaga inilah, dengan berbagai perangkatnya, yang diberi tugas dan wewenang dalam perencanaan, pembinaan dan pengembangan bahasa di Indonesia. Masalah berikutnya dalam perencanaan bahasa ini adalah, apakah sasaran perencanaan bahasa itu. Dari berbagai kajian dapat kita lihat sasaran perencanaan bahasa itu yaitu, (1) pembinaan dan pengembangan bahasa yang direncanakan (sebagai bahasa nasional, bahasa resmi kenegaraan dan sebagainya) dan (2) khalayak di dalam masyarakat yang diharapkan akan menerima dan menggunakan saran yang diusulkan dan ditetapkan.
Kalau sasarannya adalah bahasa atau korpus bahasa yang akan dibina atau dikembangkan, maka sasaran itu dapat menjadi bermacam-macam, antara lain pengembangan sandi bahasa dalam bidang keaksaraaan, di bidang peristilahan, di bidang pemekaran ragam wacana dan sebagainya.
Suatu perencanaan bahasa tentunya harus diikuti dengan langkah-langkah pelaksanaan apa yang direncanakan. Pelaksanaan yang berkenaan dengan korpus bahasa adalah penyusunan sistem ejaan yang idel (baku), yang dapat digunakan oleh para penutur dengan baik, sebab adanya sistem ejaan yang disepakati akan memudahkan dan melancarkan jalannya komunikasi. Kemudian diikuti dengan penyusunan atau pengkodifikasian sistem tata bahasa yang dibakukan serta penyusunan kamus yang lengkap.
Pelaksanaan perencanaan bahasa ini kemungkinan besar akan mengalami hambatan yang mungkiun akibat dari perencanaannya yang kurang tepat, bisa juga dari para pemegang tampuk kebijakan, dari kelompok sosial tertentu, dari sikap bahasa para penutur, maupun dari dana dan ketenagaan.perencanaan yang kurang tepat bisa bersumber dari pengambilan kebijakan yang tidak tepat atau keliru, karena salah mengestimasi masalah kebahasaan yang harus diteliti.
Hambatan dari pemegang tampuk kebijakan bisa terjadi dilakukan oleh mereka yang memegang tampuk kebijakan di luar bidang bahasa. Di Indonesia misalnya, tidak jarang ada orang yang cukup berpengaruh bukan hanya tidak memberi contoh penggunaan bahasa yang baik, malah juga melakukan tindakan yang tidak menunjang pembinaan bahasa. Antara lain dengan mengatakan, “soal bahasa adalah urusan guru bahasa”.
Dalam hal ini, kalau kita mendengar berbagai keluhan, baik dalam forum seminar maupun dalam tulisan mengenai rendahnya mutu penguasaan bahasa Indonesia pelajar, mahasiswa, maupun cendikiawan Indonesia, kita perlu bertanya dimana letak hambatan usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia yang dilakukan melalui jenjang pendidikan formal maupun yang telah dilakukan melalui berbagai kegiatan penyuluhan dan penataran. Segudang jawaban telah ditemukan, dan  seribu satu usaha perbaikan telah dilakukan, tetapi hasilnya belum juga lebih baik.
Berhasil dan tidaknya usaha perencanaan bahasa ini adalah masalah evaluasi. Dalam hal ini memang dapat dikatakan evaluasi keberhasilan perencanaan bahasa itu memang sukar dilaksanakan. Evaluasi terhadap pembakuan bahasa memang sulkar sekali dilakukan, sebab masalah-masalah dalam pembakuan bahasa termasuk masalah yang kompleks, sukar dirumuskan, sukar dipecahkan, dan tidak mengenal aturan berhenti. Oleh karena itu, seperti kata Rittel dan Weber masalah-masalh pembakuan bahasa tersebut termasuk masalah-masalah kejam (wicked problems). Pembakuan bahasa itu sendiri, menurut Amran Halim (1979:29) merupakan proses yang berlangsung secara terus-menerus selama bahasa yang bersangkutan tetap digunakan oleh masyarakat yang hidup dan tumbuh, dan berkembang sedemikian rupa. Sehingga sebenarnya tidak dapat dikatakan dengan pasti dimana pangkal dan dimana ujungnya.
2.2 Tujuan Pengajaran Bahasa Indonesia
Tujuan pengajaran bahasa Indonesia pada semua jenjang pendidikan adalah membimbing anak didik agar mampu memfungsikan bahasa Indonesia dalam komunikasinya dengan segala aspek. Dalam pengertian ini jelas bahwa tujuan pengajaran bahasa Indonesia itu diarahkan kepada kemampuan anak didik agar melakukan komunikasi dengan bahasa Indonesia sesuai dengan fungsinya.
Antar Semi dalam bukunya Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia mengemukakan, bahwa tujuan pengajaran bahasa adalah sebagai berikut :
a)      Memperluas pengalaman anak didik melalui media massa serta dapat menyenanginya :
b)      Membantu anak didik agar mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia secara efektif sesuai dengan potensi masing-masing.
c)      Memperkenalkan kepada anak didik karya sastra yang bernilai, sehingga mereka tertarik dan terdorong untuk membacanya.
d)     Membantu dan membimbing anak didik agar memperoleh kemampuan dalam menyimak, berbicara, membaca dan menulis.
e)      Merangsang perhatian anak didik terhadap bahasa nasional serta menumbuhkan apresiasi yang baik dan mempunyai rasa tanggungjawab sehingga mempercepat keterampilan mereka dalam berbahasa Indonesia
f)       Membantu anak didik mengenai aturan bahasa Indonesia yang baik, serta mempunyai kemauan menggunakannya dalam berbahasa, baik ucapan maupun lisan.
g)      Membimbing anak didik agar mempunyai keberanian untuk menyatakan pendapat, serta memiliki kepercayaan kepada diri sendiri, sehingga mampu berkomunikasi dengan baik dan benar dalam berbagai situasi.
Tujuan pengajaran di atas menunjukan bahwa arah tujuan pengajaran bahasa Indonesia adalah terampil menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan situasi dan kondisi dan juga kemampuan mengapresiasikan sastra yang baik.
2.3 Variabel Pembelajaran Bahasa
Pernahkah Anda memikirkan bagaimana Anda belajar bahasa? Pernah jugakah Anda memikirkan prosesnya? Faktor apa saja yang menjadikan Anda, misalnya, sekarang ini dapat berbicara bahasa Indonesia dengan sangat lancar, dapat menjelasterangkan konsep-konsep kepada siswa Anda dengan baik dengan menggunakan bahasa Indonesia? Tahukah Anda bahwa sebenarnya  belajar bahasa merupakan proses yang kompleks yang melibatkan banyak variabel? Tahukah Anda bahwa banyak prinsip yang penting dalam belajar bahasa? Belajar bahasa merupakan usaha yang panjang dan kompleks. Seluruh jiwa raga Anda terlibat ketika Anda berjuang untuk dapat menguasai bahasa baru, bahasa kedua atau bahasa asing dengan budaya barunya, dengan cara berpikirnya yang baru, dengan cara bertindaknya yang baru pula.
Keterlibatan menyeluruh, kepedulian yang terus-menerus, baik fisik, intelektual, emosional sangat diperlukan untuk dapat menguasai bahasa asing dengan baik. Belajar bahasa bukan merupakan seperangkat langkah yang mudah yang dapat diprogram dalam sebuah kemasan kilat.  Sebagai guru sebaiknya Anda memahaminya dengan baik. Dari mana Anda akan memulai untuk memahami prinsip-prinsip belajar bahasa? Anda  dapat memulainya dengan pertanyaan siapa, apa, bagaimana, kapan, di mana, dan mengapa.
a.       Siapa
            Menurut Anda siapakah yang terlibat dalam belajar bahasa? Tentulah pembelajar bahasa, bukan? Siapakah pembelajar bahasa itu? Dari manakah asal-usulnya (daerahnya)? Apakah bahasa pertamanya (bahasa ibunya)? Apa tingkat pendidikannya? Siapakah orang tuanya? Bagaimanakah kapasitas intelektualnya? Bagaimana kepribadiannya? Banyak pertanyaan dapat diajukan untuk mengungkapkan siapakah sebenarnya pembelajar bahasa itu.
            Siapakah yang terlibat dalam pembelajaran bahasa itu? Hanya pembelajar sajakah? Anda sebagai guru tidak terlibatkah? Jawabnya ialah pasti terlibat. Guru juga merupakan faktor penting dalam pembelajaran bahasa. Oleh sebab itu, berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan masalah pembelajaran bahasa untuk guru sangat relevan dikemukakan. Siapakah gurunya? Apa latar belakang pendidikannya? Apakah dia memang berlatar belakang pendidikan guru bahasa? Bukankah sering ada guru bahasa Indonesia yang tidak berlatar belakang pendidikan bahasa dan sastra Indonesia? Apa bahasa pertamanya? Pelatihan apa saja yang pernah didapatkannya sehubungan dengan pembelajaran bahasa? Bagaimana kepribadiannya? Pertanyaan itu tentu saja merupakan langkah awal untuk dapat mengidentifikasi faktor yang penting dalam pembelajaran bahasa, yakni pembelajar dan pengajar.
b.      Apa
            Apa yang harus dipelajari? Bahasa apa? Apakah bahasa itu sudah dideskripsikan dengan baik? Bagaimanakah perbedaan bahasa pertama dan bahasa kedua?
c.       Bagaimana?
            Bagaimana terjadinya proses belajar bahasa? Proses kognitif apa yang dimanfaatkan di dalam belajar bahasa? Strategi dan gaya apa saja yang digunakan pembelajar? Bagaimana hubungan optimal antara ranah kognitif, ranah psikomotor, dan ranah afektif agar belajar bahasa itu membuahkan hasil yang maksimal?
d.      Kapan
            Kapan belajar bahasa itu terjadi? Salah satu kunci isu dalam penelitian belajar bahasa adalah perbedaan keberhasilan anak-anak dan orang dewasa dalam belajar bahasa kedua. Observasi umum mengatakan bahwa anak-anak adalah pembelajar bahasa yang lebih baik daripada pembelajar dewasa. Apakah isu itu benar? Jika memang demikian, mengapa perbedaan umur menyebabkan perbedaan keberhasilan belajar bahasa? Bagaimana bahasa kedua dipelajari oleh anak-anak prasekolah yang masih sangat terlibat dengan pemerolehan bahasa pertamanya? Atau oleh para praadolesen yang sudah menuntaskan bahasa pertamanya dan sedang mengembangkan belajar bahasa kedua? Atau oleh para remaja yang masih mencoba menemukan jati dirinya? Atau oleh orang dewasa yang sudah masak secara kognitif maupun afektif? Kapan waktu mereka belajar bahasa? Apakah pembelajar belajar bahasa dalam tiga, lima, atau sepuluh jam setiap minggu dalam kelas? Atau tujuh jam setiap hari dalam sebuah program celup (immersion program)? Atau dua puluh empat jam sehari dan menyatu dengan budaya bahasa kedua?
e.       Di mana
            Apakah pembelajar mencoba memperoleh bahasa kedua dalam lingkungan budaya dan kebahasaan bahasa kedua? Atau ia memumpunkan pada konteks bahasa asing di mana bahasa kedua digunakan dalam lingkungan yang artifisial? Bagaimana kondisi sosisopolitik dari masyarakat tertentu mempengaruhi hasil ketuntasan belajar bahasa kedua? Bagaimana perbedaan dan kemiripan interkultural umum mempengaruhi proses belajar bahasa?
f.       Mengapa
            Mengapa pembelajar berupaya belajar bahasa kedua? Apakah ada motivasi instrumental atau integratif dalam belajar bahasa kedua? Alasan sikap, emosional, pribadi, atau intelektual apa yang menyebabkan pembelajar belajar bahasa kedua?
Topik-topik pertanyaan itulah yang akan dijawab dalam tulisan ini. Tetapi, tentu saja, sekarang mungkin kita masih meraba-raba jawaban pertanyaan tersebut. Tetapi, paling tidak dalam benak kita, kita memiliki jawaban yang bersifat tentatif. Dalam bab ini akan dibicarakan isu pokok pembelajaran bahasa, yakni apakah bahasa itu dan bagaimana seseorang belajar dan mengajarkan bahasa?
2.4 Hambatan-Hambatan Perencanaan Bahasa
Suatu rencana pasti akan mengalami hambatan dalam pelaksanaannya. Hambatan boleh saja terjadi ketika perencanaan sedang disusun, bahkan ketika suatu rencana sedang dilaksanakan. Hambatan-hambatan itu meliputi :
a.       Pemegang tampuk kebijakan
b.      Sikap penutur bahasa
c.       Dana
d.      Ketenagaan
Kadang rencana yang telah disusun mendapat hambatan dari pemegang tampuk kebijakan pada masalah yang berbeda. Maksudnya, pemegang tampuk kebijakan yang bukan berurusan dengan persoalan kebahasaan. Misalnya di Indonesia, lembaga yang diserahi tugas untuk menentukan garis kebijakan kebahsaan adalah departemen pendidikan dan kebudayaan, dalam hal ini pusat pembinaan dan pengembangan bahasa.
Sikap penutur bahasa sangat menentukan kebijakan bahasa. Sebab, apapun yang ditetapkan oleh para ahli, apapun yang ditentukan oleh departemen, penutur bahasalah yang akhirnya menentukan. Penutur bahasalah yang mempergunakan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, sikap penutur bahasa harus diubah dari sikap negatif ke sikap positif. Sikap negatif misalnya tercermin dari sikap tidak mau tahu tentang garis kebijakan yang sedang dijalankan. Sikap negatif tercermin pula dari ucapan bahwa persoalan kebahasaan hanya tanggung jawab pemerintah dan ahli bahasa. Sikap-sikap sepertini sangat menghambat perencanaan dan kebijakan bahasa.
Suatu rencana juga memerlukan dana dan fasilitas. Tanpa dana tak terlalu banyak yang dapat dibuat. Namun, perlu diingatkan tanpa dana pun masih ada yang dapat dibuat. Dana boleh saja berasal dari pemerintah, tetapi boleh juga dari perseorangan, yayasan, dan sebagainya. Hanya yang perlu dipersoalkan ialah pemanfaatan dana yang disediakan.
Akhirnya kesulitan yang didapati dalam pelaksanaan perencanaan bahasa ialah faktor ketenagaan. Tenaga yang terlatih menangani soal-soal kebahasaan baik dari segi kuantitas maupun kualitas sangat kurang mengingat bahasa yang ditangani terlalu banyak. Penanganan ketenagaan menyangkut pula keamanan dan kesejahteraan tenaga-tenaga tersebut agar dapat melaksanakan tugas pengabdiannya dengan baik. Banyak tenaga yang mempunyai profesi dalam kebahasaan, tetapi tidak tertarik dalam persoalan kebahasaan karena keamanan dan kesejahteraan mereka tidak terjamin. Untuk itu masalah ketenagaan kebahasaan harus dikaitkan dengan persoalan keamanan dan kesejahteraan mereka.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan.
a)      Perencanaan Bahasa
Istilah perencanaan bahasa (languange planning) mula-mula digunakan oleh Haugen (1959) untuk pengertian usaha dalam membimbing perkembangan bahasa ke arah yang diinginkan oleh para perencana.
b)      Tujuan Pengajaran Bahasa Indonesia
Tujuan pengajaran bahasa Indonesia pada semua jenjang pendidikan adalah membimbing anak didik agar mampu memfungsikan bahasa Indonesia dalam komunikasinya dengan segala aspek. Dalam pengertian ini jelas bahwa tujuan pengajaran bahasa Indonesia itu diarahkan kepada kemampuan anak didik agar melakukan komunikasi dengan bahasa Indonesia sesuai dengan fungsinya.
c)      variabel bahasa
Seluruh jiwa raga Anda terlibat ketika Anda berjuang untuk dapat menguasai bahasa baru, bahasa kedua atau bahasa asing dengan budaya barunya, dengan cara berpikirnya yang baru, dengan cara bertindaknya yang baru pula. Keterlibatan menyeluruh, kepedulian yang terus-menerus, baik fisik, intelektual, emosional sangat diperlukan untuk dapat menguasai bahasa asing dengan baik.
d)     Hambatan-Hambatan Perencanaan Bahasa
Suatu rencana pasti akan mengalami hambatan dalam pelaksanaannya. Hambatan boleh saja terjadi ketika perencanaan sedang disusun, bahkan ketika suatu rencana sedang dilaksanakan.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer A dan Agustina L.2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta,Renika Cipta.
Blog.sunan-ampel.ac.id/warsiman/2010/05/18/kebijaksanaan-pemerintah-dalam-upaya-pembinaan-dan-pengembangan-bahasa-nasional-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar